Kamis, 16 Juni 2011

Islam, Sekulerisme dan Indonesia


Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari yang dipandang kecil seperti memakai sandal mulai dari kaki kanan terlebih dahulu hingga mengatur urusan politik dan pemerintahan.
Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubunganya dengan Khaliq-nya, hal ini tercermin dalam aqidah dan ibadah ritual dan spiritual. Seperti: tauhid, salat, zakat, puasa dan lain-lain. Kedua, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Yang diwujudkan berupa akhlak, pakaian, dan makanan. Ketiga, mengatur manusia dengan lingkungan sosial. Hal ini diwujudkan dalam bentuk mu’amalah dan uqubat. (sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem politik Islam, sistem pidana Islam, strategi pendidikan, strategi pertanian, dan lain sebagainya (Taqiyyudin, Nidhomul Islam)
Maka Islam adalah berbeda dengan agama-agama yang lain, sebab Islam tidak sebatas ibadah ritual dan spiritual belaka, namun juga memasuki ranah publik. Maka kaum muslim yang memisahkan agama Islam dengan kehidupan publik (fasluddin \’anil-hayah) berarti ia telah terkena virus sekulerisme.
Sekulerisme sendiri sebagaimana ditulis Shidiq Jawi di majalah Al-Waie mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” (Matius, 22:21).
Sekularisme merupakan akar dari liberalisme yang sejatinya masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekuler dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politik, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politik adalah (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan Pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Uniknya sebagian kaum Muslim secara sadar atau tidak justru mengagung-agungkan paham yang satu ini, padahal jika ditelisik lebih dalam ini adalah jelas merupakan produk pemikiran impor dari Barat. Bisa pula disebut ideologi transnasional.
Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Sayangnya sekulerisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya.
Ideologi Islam Mengancam Indonesia?
Sungguh tidak habis pikir jika pihak yang ingin menerapkan sistem Islam di Indonesia disebut ingin merongrong negara. Padahal merekalah yang selama ini dengan lantang menyatakan penolakannya terhadap segala bentuk penjajahan.
Terkurasnya kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah ruah berupa tambang emas, minyak, dan lainnya adalah bukti masih terjajahnya Indonesia. Dan Ideologi Islam menolak tegas terjadinya liberalisme ekonomi.
Alhasil, lepasnya Timtim adalah sebagai bukti bahwa ideologi yang dipakai negara selama ini telah gagal menjaga keutuhan negara. Padahal Ideologi Islam jelas tidak bisa membenarkan hal itu. Itulah kenapa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) salah satu pihak yang gencar mengkampanyekan sistem Islam untuk Indonesia yang lebih baik, di dalam majalah maupun seleberan-selebarannya ketika itu telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun! (hizbut-tahrir.or.id)
Mengguritanya kasus korupsi juga akibat diterapkannya sistem sekulerisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Alhasil banyak masyarakat Muslim sendiri yang doyan melakukan korupsi. Dalam hal ini, Islam telah mempunyai solusi jitu untuk pemberantasan korupsi untuk Indonesia yang lebih bersih dari korupsi. Sedangkan strategi Islam dalam pemberantasan korupsi ini pun telah disampaikan diberbagai kesempatan, entah itu melalui tulisan-tulisan di berbagai media maupun kesempatan lain. Tinggal negeri ini mau untuk menerapkan atau tidak.
Menyoal Ideologi Transnasional
Beberapa kalangan dengan mudah mengidentikkan sistem Islam sebagai ideologi transnasional, namun di satu sisi tidak menyebut ideologi lain dengan julukan yang sama. Sebagaimana terjadi, Pancasila di masa orde lama cenderung berkiblat ke ideologi sosialisme meski atas nama pancasila. Ideologi sosialisme lahir di Uni soviet sekitar tahun 1800 M, demikin halnya kapitalisme yang dijadikan pegangan dimasa orde baru sampai sekarang lahir di Eropa pada tahun sekitar 1500 M. Sedang sistem republik adalah buah karya Plato (Yunani, sekitar tahun 400 M), begitu pula sistem demokrasi yang dimulai di Yunani Kuno.
Bukankah semuanya adalah ideologi transnasional? Islam yang telah sempurna memang pertama kali diturunkan di tanah arab, namun Islam adalah rahmat untuk seluruh alam, termasuk untuk Indonesia tentunya.
Maka tek heran bilamana pasca runtuhnya khilafah Islam terakhir di Turki pada tahun 1924 M, anak bangsa Indonesia merespon cepat hal ini dengan mengadakan Komite Khilafah di Surabaya dalam upaya menegakkan kembali khilafah Islam yang telah diruntuhkan Mustafa Kemal Atatturk (Turki), mereka akan menghadiri kongres khilafah di Kairo, Mesir. Mereka terdiri dari para pemuka masyarakat dari kalangan Muhammadiyah, Al Irsyad, Syarikat Islam (diketuai Wondo Soedirdjo, wakilnya KH. Abdul Wahab Hasbullah, yang kemudian jadi organisator NU), Nahdhatul Wathan, Tashwirul Afkar, At Ta’dibiyyah, dan ormas Islam lainnya. (eramuslim.com).
Juga kemudian diadakan Kongres al-Islam Hindia III di Surabaya pada 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili Dewan Pimpinan Pusat-nya (hoofd bestuur) maupun Dewan Pimpinan Cabang-nya (afdeling). Keputusan yang dihasilkan kongres adalah mengutus wakil yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres Dunia Islam di Kairo. Orang yang terpilih berangkat adalah Soerjopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachrudin (Muhammadiyah) dan KH Wahab Hasbullah (wakil dari kaum pesantren). (Taufiq Rahzen, komite khilafah)
Karena itu, kecintaan terhadap negeri ini tidak cukup dengan hanya sebatas kecintaan simbolik, melainkan harus benar-benar diwujudkan berupa perjuangannya untuk membuat Indonesia yang lebih baik dan sejahtera. Undur maa kola wala tandur man kola (Lihatlah olehmu apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang berbicara). Wallahu a’lam bi ash-shawab.
*) Ali Mustofa adalah Direktur Rise Media Surakarta, Staf Humas HTI Solo Raya.
sumber: detiknews.com (16/6/2011)

Rabu, 25 Mei 2011

Kesalahan Obama dalam Pidatonya Menelanjangi Kepalsuan Politik Amerika!

بسم الله الرحمن الرحيم
Kesalahan-kesalahan Obama di dalam Pidatonya dari Markas Besar Luar Negeri Amerika Menelanjangi Kepalsuan Politik Amerika!
Obama semalam (Kamis, 19/5) berpidato dari markas Departemen Luar Negeri Amerika, ditujukan kepada bangsa-bangsa Timur Tengah. Obama memenuhi pidatonya dengan sejumlah kesalahan. Di antaranya bahwa Amerika mendukung dan mensuport bangsa-bangsa kawasan dalam revolusinya menentang penguasa diktator yang telah menzalimi dan berbuat jahat kepada mereka … Dan bahwa Amerika akan mendukung penguasa-penguasa baru yang dimunculkan oleh revolusi itu dengan jalan menghapus sebagian utang dan mempermudah pemberian utang melalui IMF dan Bank Dunia. Obama memfokuskan hal itu pada Mesir … Di akhir pidatonya, Obama mengumumkan bahwa Amerika akan mendukung solusi dua negara di Palestina: satu negara yang aman dan tenteram untuk Yahudi dan keamanannya dijaga oleh Amerika, dan satu negara untuk penduduk Palestina, sebuah negara lumpuh yang terlucuti senjatanya! Obama lupa atau pura-pura lupa bahwa Palestina adalah tanah Islami dari laut hingga sungainya. Dan dengan izin Allah SWT akan kembali ke asalnya dan hidung musuh-musuh Islam akan tersungkur …
Orang yang mencermati pidato Obama, ia akan melihat bahwa Obama memutarbalikkan fakta. Setiap orang yang memiliki dua mata akan melihat dan mengetahui bahwa penguasa zalim thaghut di negeri-negeri kaum Muslim adalah asuhan barat khususnya Amerika. Adakah orang yang mengingkari ikatan kuat Mubarak dengan Amerika, bahkan dikatakan, Mubarak jauh lebih Amerika dari orang-orang Amerika sendiri? Adakah orang yang tidak melihat pemutarbalikan fakta oleh Amerika dalam berbagai pernyataannya selama revolusi Tahrir Square di Mesir? Saat itu Amerika mendukung sikap Mubarak dan membisikinya apa yang akan dia lakukan, sementara Amerika hanya selintas melihat Tahrir Square. Amerika sungguh telah melihat dan mendengar Mubarak berbuat jahat kepada masyarakat, membunuh ratusan orang dan melukai ribuan, dan mengobrak-abrik camp mereka. Meski demikian, Amerika tidak mengkritik atau angkat suara, kecuali ketika Amerika yakin bahwa Mubarak sudah tidak mampu lagi membunuh lebih banyak dan bahwa mereka yang berrevolusi hampir mencengkeram tengkuk Mubarak tanpa rasa takut! Pada saat itu Amerika merubah logat dan mengganti orientasi, mencampakkan Mubarak dan bergegas mencari penjaganya yang lama dan baru yang bisa mengisi posisi Mubarak untuk melayani kepentingan-kepentingan Amerika …
Hari ini Amerika menempuh jalan yang sama di Suriah. Kelembutan seruan kepada rezim Suriah sungguh terlihat jelas hingga bagi publik di Amerika bahkan dunia. Meski rezim Suriah membunuh, membantai, melukai, mencederai masyarakat, menghancurkan rumah dan masjid selama dua bulan penuh, Amerika tetap menutup mata terhadap rezim Suriah. Ketika masyakat makin intens untuk mencabut rezim, meski harus dengan kucuran deras darah, Amerika muncul dengan berbagai pernyataan malu-malu. Amerika berkata: Bashar harus memimpin perubahan politik atau mundur! Artinya, revolusi masyarakat itu menentang kezaliman, kejahatan dan pembantaian oleh rezim, sementara Amerika ingin menyerahkan revolusi itu kepada pelaku kezaliman, kejahatan dan pembantaian tersebut! Seperti apa yang dilakukan terhadap Mubarak, begitu pulalah yang akan dilakukan oleh Amerika terhadap Bashar. Yaitu mempermudahnya untuk membunuh masyarakat dan berbuat jahat terhadap mereka. Jika Bashar sudah tidak mampu lagi membunuh lebih banyak, dan hampir jatuh di tangan mereka yang berrevousi, Amerika akan mengeluarkan berbagai pernyataan menjilat dan menarik dukungannya kepada diktator Syam!
Amerika gembong kekufuran dan penjajahan, potretnya tidak akan bisa dipercantik oleh kesalahan-kesalahan Obama. Parfum tidak akan bisa mempercantik sesuatu yang dirusak oleh waktu. Amerika hanya memandang kepentingan materinya hingga meski seandainya pihak-pihak lain menggerutu. Bahkan Amerika bertarung dengan partnernya, Uni Eropa, dalam menjajah negeri-negeri kaum muslim seperti yang terjadi di Libya, Yaman, Bahrain dan daerah-daerah sensitif lainnya di negeri-negeri kita. Negara-negara yang dengki terhadap Islam dan kaum Muslim dan nilai-nilai yang selalu didengungkan Obama adalah kedengkian yang ditampakkan oleh Barat khususnya Amerika kepada kita di Irak, Afganistan, Guantanamo … Itu adalah pemboman terus menerus dari pesawat-pesawatnya terhadap kaum Muslim di Pakistan … Itu adalah pembunuhan oleh pengecut terhadap seorang syahid tak bersenjata di rumahnya, bukan di medan pertempuran … Itu adalah kontrol ekonomi di negeri-negeri kita melalui Bank Dunia dan IMF, menggunakan kebijakan-kebijakan utang, proyek-proyek pelayanan yang tidak produktif, inflasi riba dan hegemoni terhadap perekonomian, ekspor dan impornya sehingga negeri-negeri yang kaya justru mayoritasnya didera utang yang menggunung dan bunga yang mencekik! Itu adalah dukungan terus menerus kepada entitas Yahudi pencaplok tanah Palestina berikut kejahatan-kejahatan brutalnya yang terus menerus siang dan malam terhadap keluarga kita. Itu adalah nilai-nilai Amerika, bahkan itulah nilai-nilai Amerika yang paling menonjol!
Wahai Kaum Muslim: pidato Obama ini bukan sesuatu yang baru dari pidato-pidato sebelumnya. Pidato Obama itu adalah hal lama yang diperbarui. Di dalamnya ia menyebutkan apa yang telah ia sebutkan di dalam pidato-pidatonya sebelum itu, khususnya pidatonya di Kaero dua tahun lalu. Yang setengah baru adalah bahwa ia memfokuskan lebih banyak, bersuara lebih tinggi dan meninggikan intonasi dengan mendukung negara Yahudi dan melindungi keamanannya, sampai pada beberapa perkara melampaui Yahudi dalam perhatian terhadap Yahudi! Obama mengeluarkan masalah al-Quds dan para pengungsi dari pembahasan, dan kadang menempatkan keduanya pada perkara-perkara emosional, bukan sebagai perkara yang mendasar. Obama meramu antara batas tahun 67 dengan pertukaran tanah dalam teks yang jelas untuk memasukkan pemukiman ke wilayah negara Yahudi dan tidak menjadi bagian negara kecil Palestina yang lumpuh terlucuti senjatanya!
Wahai Kaum Muslim: benar, pidato Obama bukan sesuatu yang baru dari pidato-pidato sebelumnya. Itu hal yang biasa dan sudah dapat diprediksi akan dilakukan Obama dan para presiden Amerika sejak munculnya masalah Palestina. Namun yang benar-benar menyakitkan adalah bahwa Obama di dalam pidatonya berpindah-pindah di negeri-negeri kaum Muslim, sampai di sini dan berkeliling, berhenti sejenak di satu negeri lalu berpindah ke negeri lainnya, seraya berkata “ini boleh” dan “ini tidak boleh”, seolah-olah negeri-negeri kaum Muslim adalah bagian dari wilayah Amerika!
Negeri-negeri kaum Muslim yang dulu menjadi motropolitan dunia dan khilafahnya tegak, dihormati oleh teman dan ditakuti oleh lawan, serta menyebarkan kebaikan di penjuru dunia. Namun sekarang, di saat khilafah tidak ada, negeri-negeri kaum Muslim berubah menjadi panggung bagi Obama untuk berpindah-pindah di atasnya dari satu podium ke podium lainnya! Yang lebih menyakitkan adalah bahwa presiden Amerika dengan semua itu, ia mendapati para penguasa di negeri-negeri kaum Muslim dan para pendukungnya, mereka loyal dan mengangguk-anggukkan kepala kepadanya, karena menganggap Obama memiliki kemuliaan dan perlindungan. Anggapan mereka itu akan menghancurkan mereka sendiri. Mereka tidak mengambil pelajaran dengan firman Allah SWT:
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ العِزَّةَ لِلّهِ جَمِيعًا
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah. (QS an-Nisa’ [4]: 138-139)
Demikian juga mereka tidak mengambil pelajaran dari realita-realita yang ada, di mana mereka menyaksikan kelompok mereka dicampakkan oleh Amerika setelah menyelesaikan peran mereka!
Wahai Kaum Muslim, Hizbut Tahrir menyeru Anda:
Belum tibakah saatnya Anda memahami bahwa Khilafah adalah kewajiban dari Rabb Anda, perintah dari Rasul Anda, dan jalan kemuliaan serta metode kebangkitan Anda? Belum tibakah saatnya bagi Anda untuk bersegera berjuang bersama para pejuang di Hizbut Tahrir untuk menegakkan Khilafah dan merealisasi janji Rabb Anda:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa (QS an-Nur [24]: 55)
Dan mewujudkan berita gembira Nabi Anda:
«ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
Kemudian akan ada khilafah yang berjalan mengikuti manhaj kenabian
Sehingga bumi akan disinari kembali oleh khilafah dan Amerika serta barat akan mundur ke negeri mereka sendiri jika mereka masih memiliki negeri!
Lalu belum tibakah saatnya bagi Anda untuk menghadap kepada Allah SWT dengan bersegera bertaubat sebelum kematian menghampiri Anda dan Anda menyesal?
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Maka segeralah kembali kepada (menta`ati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (QS adz-Dzariyat [51]: 50)

Minggu, 03 April 2011

Bruno De Cordier dari the University of Ghent di Belgia pada tanggal 16/3/2011 dengan judul: “Explaining the Persistence of Hizb Ut-Tahrir,


Cendekiawan Asing Berbicara Jujur Tentang Hizbut Tahrir
http://hizbut-tahrir.or.id/wp-content/uploads/2011/03/ht-asia-tengah.jpg
Situs “New Eurasia” mempublikasikan sebuah artikel yang ditulis oleh seorang cendekiawan bernama Bruno De Cordier dari the University of Ghent di Belgia pada tanggal 16/3/2011 dengan judul: “Explaining the Persistence of Hizb Ut-Tahrir, Menjelaskan Kegigihan Hizbut Tahrir”.
Bruno memulai artikelnya dengan sebuah catatan hasil pengamatannya terhadap Hizbut Tahrir, di mana ia mengatakan bahwa Hizbut Tahrir sebagai kelompok fundamentalis yang mungkin paling banyak dilarang secara resmi di kawasan Asia Tengah dan di tempat-tempat lain. Namun, meskipun Hizbut Tahrir mendapatkan tekanan dan bahkan tindakan repsesif di setiap tempat, Hizbut Tahrir masih aktif melakukan berbagai aktivitas dan kegiatan besar.
Dalam hal ini, Bruno sangat yakin bahwa rahasia kegigihan Hizbut Tahrir dalam beraktivitas ada pada akidah (ideologi) yang diyakininya. Hizbut Tahrir berusaha menciptakan kemarahan yang sesungguhnya, serta kemauan yang tinggi pada diri umat. Jelasnya, Hizbut Tahrir mencerminkan sebuah lembaga dan sistem alternatif untuk sistem globalisasi.
Ketika menggambarkan tentang Hizbut Tahrir, Bruno mengatakan bahwa Hizbut Tahrir merupakan gerakan yang sudah sering dibicarakan. Namun untuk memberitakan serta membicarakan tentang Hizbut Tahrir dan Khilafah yang akan didirikannya masih banyak pihak yang malu dan kurang terbuka. Ia menambahkan bahwa ada kesulitan dalam menentukan jumlah yang tepat dan akurat terkait anggota Hizbut Tahrir di dunia, atau sejauh mana penyebarannya di negeri-negeri Islam, khususnya di negara-negara seperti Uzbekistan, hingga saat ini di Libya. Hanya saja ia mengakui bahwa ada penerimaan yang luar biasa terhadap ide-ide Hizbut Tahrir. Bahkan Hizbut Tahrir mampu dan tetap teguh meskipun berulang kali menghadapi berbagai tekanan dan penindasan.
Bruno kembali mengatakan tentang alasan hingga sikap Hizbut Tahrir yang berusaha menciptakan kemarahan yang sesungguhnya, serta kemauan yang tinggi pada diri umat, bahwa apa yang dilakukan Hizbut Tahrir ini tidak lain adalah jawaban-jawaban yang sesungguhnya atas berbagai masalah ekonomi, politik dan sosial yang ada di dunia. Bahkan ia menilai solusi yang ditawarkan Hizbut Tahrir ini sebagai solusi terbaik dari solusi terbaik yang ditawarkan oleh organisasi hak asasi manusia sekuler.
Dalam hal ini, Bruno mengapresiasi buku “The Emerging World Order and The Islamic Khilafah State, Munculnya Tatanan Dunia dan Negara Khilafah Islam” yang ditulis oleh salah seorang aktivis Hizbut Tahrir di situs “khilafah.com”. Di mana, ia mengatakan bahwa buku tersebut dalam setiap bahasannya selalu diperkuat dengan kutipan ayat-ayat dari al-Qur’an dan al-Hadits, serta ucapan para filsuf Barat, di samping berbagai data statistik. Penulis buku itu fokus pada pembentukan geostrategis untuk daerah geografis kaum Muslim dan pembagiannya; bahwa sumber daya alam, berbagai potensi ekonomi, industri, kekuatan militer, faktor penduduk (demografis) dan ideologi akan membentuk kekuatan besar dalam “new world order, tatanan dunia baru”. Di mana sesuai pemahaman Hizbut Tahrir bahwa kekuatan besar itulah yang akan menghentikan dan mengakhiri hegemoni Barat yang sudah lama merusak negeri-negeri kaum Muslim.
Sementara kendala utama yang mencegah penggunaan potensi-potensi tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam buku tersebut adalah terpecahnya kaum Muslim hingga menjadi 56 negara kecil. Dan kondisi inilah yang menyebabkan keberadaan penjajahan, pendudukan, perpecahan, dan impor ide-ide sekuler seperti nasionalisme, sosialisme dan kebebasan. Sedangkan para penguasa di negara-negara ini adalah para penjahat, karena mereka hanya melaksanakan kebijakan untuk melayani kepentingan Barat saja.
Kemudian Bruno mengatakan bahwa Khalifah dalam pandangan Hizbut Tahrir harus dipilih rakyat; Khalifah adalah pemimpin di dunia yang akan menerapkan Islam; Khalifah adalah manusia biasa yang bisa saja berbuat salah; dan Khalifah dalam pemahaman Hizbut Tahrir yang berbeda dengan pemahaman banyak orang adalah bahwa Khalifah itu bukan Imam Mahdi.
Selanjutnya, Bruno mengakui bahwa berdirinya institusi besar yang membentang dari Rabat hingga Mindanao-kota terbesar di Filipina-ini merupakan sesuatu yang realistis. Justru ia mempertanyakan dan menolak klaim sebagian orang yang mengatakan bahwa “ideologi Hizbut Tahrir ini terpisah dari realitas”.
Dalam diagnosisnya terkait apa yang terjadi di negara-negara Arab, ia mengatakan tentang adanya kegagalan yang mendalam dari rezim-rezim yang berpengaruh besar dalam dunia Islam, di mana hal ini berbeda dengan kehendak Hizbut Tahrir. Ia menambahkan bahwa revolusi Arab yang terus berlanjut ini didorong oleh kegagalan dan ketidakadilan sosial, melebihi dorongan ideologis. Sehingga tidak banyak yang mengatakan bahwa revolusi ini akan membantu penyebaran agenda Islam. Sementara Hizbut Tahrir melihat dalam revolusi ini dan menganggapnya sebagai perkembangan yang menjanjikan dalam upaya melawan para rezim yang didukung Barat seperti Presiden Mubarak; dan melawan para anti-Islam seperti Gaddafi yang telah menzalimi kaum Muslim dalam waktu yang lama. Bahkan Hizbut Tahrir merasa bahwa runtuhnya rezim-rezim ini sama dengan terbukanya berbagai peluang baru baginya untuk mendiskusikan ide Khilafah dengan cara yang lebih terbuka.
Dan dalam hal ini sangat jelas dan dapat dimengerti dengan terori yang sederhana, karena ketidakpuasan yang menyulut revolusi ini disebabkan oleh kebijakan neo-liberal. Sehingga konsekwensinya bahwa konsep “westernisasi” dan “modernisasi” dipandangnya sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.
Bruno mengatakan bahwa konsep Negara Khilafah Islam yang terkait erat dengan perjuangan Hizbut Tahrir, tidak tampak bahwa Negara Khilafah Islam menolak pencapaian teknologi modern, melainkan ingin menempatkan pencapaian teknologi modern ini dalam pelayanan, yang oleh Hizbut Tahrir dilihatnya sebagai pembebasan dari Barat, dan kemajuan di dunia Islam.
Bahkan Hizbut Tahrir berusaha untuk mengkristalkan kerangka ideologis global dan menciptakan kesadaran melalui penggunaan media modern dan teknologi komunikasi, di samping jaringan imigrasi, serta filsafat politik kontemporer.
Bruno menambahkan bahwa ketika memperhatikan pemahaman Hizbut Tahrir terhadap Islam dan penjelasan atas pandangannya terhadap sistem sosial alternatif, maka Anda akan menemukan bahwa Hizbut Tahrir melakukannya melalui analisis praktis terhadap berbagai peristiwa yang terjadi. Ia melontarkan sebuah catatan, bahwa ada seorang penulis karena tidak membedakan antara peradaban (hadhârah) dan budaya (madaniyah), maka ia mengatakan bahwa Hizbut Tahrir itu anti dan melawan modernisasi. Padahal faktanya Hizbut Tahrir itu modern sekali, Hizbut Tahrir menggunakan internet dan berbagai jaringan media komunikasi sosial, sehingga ini bukti bahwa Hizbut Tahrir itu anti dan melawan modernisasi sangat jauh dari kebenaran.
Bruno mengatakan bahwa konsep Khilafah yang diperjuangkan Hizbut Tahrir berbeda dari apa yang saya pikir. Hizbut Tahrir memiliki pemahaman yang istimewa tentang perlunya integrasi ekonomi yang riil dalam dunia Islam. Sementara keberadaan Liga Arab, Dewan Kerjasama Negara Teluk (GCC), dan Organisasi Kerjasama Ekonomi tidak mampu menghasilkan perubahan nyata, karena mereka semua korup, dikendalikan oleh pemerintah dan rezim yang memusuhi Islam, serta rezim-rezim ini tunduk pada agenda negara-negara besar. Sehingga adanya semua ini dinilai sebagai problem dan masalah utama di dunia Islam. Bahkan Hizbut Tahrir menyerukan untuk menghapus perbatasan antara negara-negara dan masyarakat.
Sekali lagi, Bruno menegaskan bahwa perjuangan Hizbut Tahrir bukan sesuatu yang naif,  karena kebutuhan pada rasa persatuan dan adanya tujuan bersama di dunia Islam merupakan perkara yang diperlukan. Dan sebagai gerakan, Hizbut Tahrir tidak memiliki wilayah tertentu. Hizbut Tahrir mempromosikan dirinya dengan berbagai kegiatan. Hizbut Tahrir beraktivitas untuk menyatukan identitas, sentralitas tujuan dan integrasi antar daerah dalam aktivitas. Ia menambahkan, namun dari sisi lain dan dari sudut pandang saya bahwa Hizbut Tahrir tidak tampak melakukan aktivitas gerakan massa, dan tidak tampak berusaha untuk mendirikan Khilafah dari nol, atau tidak ada sama sekali. Hizbut Tahrir sebagai sebuah gerakan ingin memobilisasi dan menyebarkan ide-idenya di antara kelompok-kelompok sosial masyarakat dan lembaga. Bahkan Hizbut Tahrir dengan tegas menargetkan elemen-elemen masyarakat yang mempunyai pengaruh nyata, dan kekuatan yang berpengaruh serta diperlukan untuk menciptakan perubahan, seperti angkatan bersenjata, badan-badan intelijen dan para profesional.
Bruno menutup artikelnya dengan mengatakan bahwa Hizbut Tahrir telah menyoroti tidak adanya Negara Khilafah menjadi referensi dan sesuatu yang memiliki kredibel. Negara Khilafah sebagaimana sebelumnya akan berdiri untuk melindungi dunia Islam. Sementara Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang dalam pandangan banyak orang di dunia Islam memiliki kemampuan untuk melindungi dunia Islam, ternyata tidak memainkan peran apapun. Begitu juga ketika seorang pemimpin seperti Saddam Hussein dan Gaddafi mencoba memainkan “nada musik” Islam melalui rezim sekulernya untuk memobolisasi massa, maka lihat mereka sekarang bahwa mereka hanyalah orang-orang oportunis. Oleh karena itu, apa yang kita lihat dalam Hizbut Tahrir dan konsep Negara Khilafah Islam yang diperjuangkannya, maka saya yakin bahwa Hizbut Tahrir mencerminkan sebuah lembaga dan sistem alternatif untuk sistem globalisasi.
Sumber: pal-tahrir.info, 27/3/2011.
New Eurasia Explaining the Persistence of Hizb Ut-Tahrir Bruno De Cordier dari the University of Ghent di Belgia
http://www.neweurasia.net/cross-regional-and-blogosphere/explaining-the-persistence-of-hizb-ut-tahrir/
Editor’s note: The radical Islamist organization Hizb Ut-Tahrir is perhaps the most officially reviled ideological group in Central Asia and beyond, and yet despite ubiquitous repression, it remains very active. Bruno De Cordier, a scholar at the University of Ghent, believes that the organization’s persistence lies in its ideology. “[They] may be tapping into very real discontent and aspirations in the general population,” he writes, “[that] essentially represents a form or interpretation of alter-globalism.”
Hizb Ut-Tahrir, the Islamic Liberation Party, is a movement often talked about. Much of the coverage vaguely mentions “the restoration of a medieval Caliphate” as the group’s aim. Yet, although it is difficult to determine with precision the full international membership of the organization or the extent to which the general population in Islamic countries, particularly in countries like Uzbekistan and until very recently Libya, may be receptive to its notions, the fact remains that Hizb Ut-Tahrir has survived repeated attempts at repression. The question is how, and I believe that the answer may lie in the extent to which the organization’s platform, if understood in a certain light, may be tapping into very real discontent and aspirations in the general population, and is responding to on-the-ground realities better than secular human rights organizations, for instance.
An online manifesto called The emerging world order and the Islamic Khilafah State on the party-affiliated portal Khilafah.com, argues, with citations from the Quran, Hadith and Western philosophers, as well as to a range of statistics, that the geographic area of distribution of Islam has the necessary geostrategic position, the natural resources, the economic and industrial potential, the military strength, the demographic share and the common ideological framework to become a superpower in the “new world order” that shall emerge from what the organization perceives as the ongoing decline of the long-dominant West.
According to the manifesto, the major obstacle to tapping into that potential the international Muslim community’s division into “56 statelets” that mostly came into being through colonialism, occupation, division and imported secular ideologies like nationalism, socialism and neo-liberalism. The “criminal rulers” of these “statelets” enforce a convenient status quo for the sake of the West and, to a lesser extent, other non-Islamic powers. Hizb Ut-Tahrir’s ideology thus suggests not so much geographic expansion of the Islamic world as the liberation and re-unification of the Islamic world in its present shape, under the rule of a unifying institution anchored in that area’s common and comprehensive ideological-religious identity: the Khilafah (Caliphate).
In Hizb Ut-Tahrir’s perspective and interpretation, the modern-day Caliph is to be universally elected, a worldly leader who is to rule according to the movement’s understanding of Islam and Shariah and, as such, not an infallible absolute monarch. Contrary to what many think, the Caliph is not the Mehdi (Messiah), at least in Hizb Ut-Tahrir’s conception of it.
Whether the creation of a mega-entity stretching roughly from Rabat to Mindanao is ever feasible at all is an issue. More importantly is the question of whether Hizb Ut-Tahrir’s ideology is as disconnected from reality as some claim. This is my view:
First, the Caliphate system may be idealised, but it nevertheless did exist during phases of history that coincided to one or another extent with the expansion or solidification of the Islamic world. Complex succession and legitimacy struggles aside, the major Caliphates of the Patriarchs of Medina (632-661), the Umayyad Caliphate of Damascus (661-750), the Abassid Caliphate of Baghdad (750-1258) and finally the Ottoman Caliphate (1517-1923), all experienced remarkable advances in Muslim political, cultural, and scientific power. That the Islamic Khilafah State as envisioned by Hizb Ut-Tahrir means the restoration of a “Medieval” situation, as many have accused the organization, is therefore true. However, one should not understand “Medieval” as “backward” or “primitive”, at least not in the context of the Islamic world — for many Muslims, “Medieval” means quite the opposite.
Second, the deep frustration with the regimes that hold sway in the Islamic world today exists well beyond the party’s base and influence. Although the ongoing wave of Arab revolutions have been driven by social frustration much more than by ideology, and least of all by a pan-Islamic agenda, Hizb Ut-Tahrir nevertheless considers them a hopeful development in the sense that they are directed against Western-backed (Mubarak) or otherwise “anti-Islamic” (Khadafi) regimes that have for too long oppressed the Muslim societies. Moreover, the fall of these regimes is felt by Hizb Ut-Tahrir as an opening of new spaces to discuss their idea of the Khilafah more openly. This is not necessarily naive, since much of the discontent that has fueled these upheavals has been caused by neoliberal policies, and thus “Westernization” and “Modernization” in some sense are perceived as part of the problem, rather than the solution.
However, the concept of the Islamic Khilafah State as articulated by Hizb Ut-Tahrir does not seem to reject modern technological achievements; rather, it wants to put them in the service of what the organization sees as the liberation and advancement of the Islamic world. Indeed, the organization has been trying to forge a global ideological framework and consciousness through the use of modern media and communication techniques, as well as migration networks and contemporary political philosophy. When elaborating their understanding of Islam and articulating their vision of an alternative social system, they do so by applying analysis to a wide range of current events. Thus, although they may be against Modernity, they are nonetheless very modern — much to the comfort of today’s online social networked Muslims.
Third, Hizb Ut-Tahrir’s Khilafah concept reflects what I believe is a perceptive understanding of the need for real economic integration of the Islamic world. Existing platforms like the Arab League, the Gulf Cooperation Council or the Economic Cooperation Organisation are perceived as unable to bring about real change in this field, because they largely together the very same corrupt “puppet governments” and “anti-Islamic” regimes that basically pursue national and great power agendas and are, as such, considered the crux of the Islamic world’s chief problem. Moreover, the removal of borders has an appeal in regions and societies where their enforcement has had far-reaching, if not dislocating consequences for the life and economy of much of the population. The best example of this might be the Ferghana basin in Eurasia.
Again, on the one hand, Hizb Ut-Tahrir is not as naive as it may appear: the need for a sense of belonging or having a common goal in the Islamic world is very real. Indeed, as a largely de-territorialised movement, Hizb Ut-Tahrir actively promotes itself as that group identity, goal-centerredness, and cross-regional integration in action. Yet, on the other hand, in my view Hizb Ut-Tahrir does not appear to intend to be a mass movement, nor does it seem to be seeking the creation of the Caliphate from scratch or in a complete void. Their promotion of themselves as an example in action should be understood a vision of themselves as a vanguard party in the traditional revolutionary sense, one that wants to rally and spread its ideas among existing social groups and institutions. Indeed, they target those societal elements that have what is commonly perceived as real influence and the necessary effective power to bring about change, such as the armed forces, intelligence services and professionals.
Moreover, in contrast to some Salafi and Takfiri groups which have fanned bloody sectarian strife between Sunnites and Shiites, Hizb Ut-Tahrir is one of the few Sunni Islamist movements to consider the Shiites as fully-fledged Muslims. This is because Shiites are seen as part of the reality of the Islamic world and because the party considers sectarianism as a base for a divide-and-rule policy by the enemies of Islam. Again, one must not underestimate the practicality of this position in terms of expanding the arena for recruitment, either.
Finally, Hizb Ut-Tahrir highlights the absence of a credible protector or reference state that will, as it were, “really stand up” for the defence of the Islamic world — that is, an analogue to how some American Jewish groups, such as the ADL or AIPAC, view themselves for the larger Jewish community, including Israel. In the eyes of much of the Islamic world the Organisation of Islamic Conference can but does not really play that role, precisely for the same reasons as the half-heartedness of current regional integration platforms. Additionally, individual leaders like Khadafi and Saddam, who once tried to rally pan-Islamic solidarity, had little credibility due to the secular nature of their regimes. Indeed, they were widely perceived as opportunists.
So, what are we really looking at with Hizb Ut-Tahrir and its concept of the Islamic Khilafah State? I propose that it essentially represents a form or interpretation of alter-globalism.
Editor's note: The Islam radikal organisasi Hizbut Tahrir Ut mungkin merupakan kelompok ideologis yang paling resmi dicerca di Asia Tengah dan sekitarnya, namun meskipun represi di mana-mana, tetap sangat aktif. Bruno De Cordier, seorang sarjana di University of Ghent, percaya bahwa kegigihan organisasi terletak pada ideologinya. "[Mereka] bisa memanfaatkan ketidakpuasan yang sangat nyata dan aspirasi pada masyarakat umum," tulisnya, "[itu] pada dasarnya merupakan bentuk atau penafsiran mengubah-globalisasi."

Hizb Ut-Tahrir, Partai Pembebasan Islam, adalah sebuah gerakan sering dibicarakan. Sebagian besar cakupan samar-samar menyebutkan "pemulihan sebuah kekhalifahan abad pertengahan" sebagai tujuan kelompok. Namun, walaupun sulit untuk menentukan dengan presisi keanggotaan internasional penuh dari organisasi atau sejauh mana masyarakat umum di negara-negara Islam, khususnya di negara-negara seperti Uzbekistan dan sampai sangat baru-baru ini Libya, dapat terbuka untuk gagasan tersebut, fakta tetap
bahwa Hizb Ut-Tahrir telah selamat mencoba diulang pada penindasan. Pertanyaannya adalah bagaimana, dan saya percaya bahwa jawabannya mungkin terletak pada sejauh mana platform organisasi, jika dipahami dalam cahaya tertentu, dapat memanfaatkan ketidakpuasan yang sangat nyata dan aspirasi dalam populasi umum, dan menanggapi on-the -tanah realitas lebih baik daripada sekuler organisasi hak asasi manusia, misalnya.

Sebuah Manifesto online yang disebut Tatanan dunia negara berkembang dan Negara Khilafah Islam di portal Khilafah.com partai-afiliasi, berpendapat, dengan kutipan dari filsuf Quran, Hadis dan Barat, serta berbagai statistik, bahwa daerah geografis distribusi Islam memiliki posisi geostrategis yang diperlukan, sumber daya alam, potensi ekonomi dan industri, kekuatan militer, pangsa demografis dan kerangka ideologis umum untuk menjadi superpower dalam "tatanan dunia baru" yang akan muncul dari apa yang organisasi mempersepsikan sebagai penurunan berkelanjutan Barat lama-dominan.

Menurut manifesto tersebut, kendala utama untuk menekan ke divisi bahwa potensi masyarakat Muslim internasional ke dalam "56 statelets" yang kebanyakan muncul melalui kolonialisme, pendudukan, pembagian dan ideologi sekuler impor seperti nasionalisme, sosialisme dan neo-liberalisme. The "penguasa kriminal" dari "statelets" menegakkan status quo yang nyaman untuk kepentingan Barat dan, pada tingkat lebih rendah, kekuatan non-Islam lainnya. ideologi Hizb Ut-Tahrir sehingga menunjukkan tidak ekspansi geografis begitu banyak dunia Islam sebagai pembebasan dan re-unifikasi dunia Islam dalam bentuk sekarang, di bawah kekuasaan lembaga pemersatu berlabuh di umum dan komprehensif identitas yang area ideologis-agama : Khilafah (Khilafah).

Dalam perspektif Hizb Ut-Tahrir dan interpretasi, Khalifah modern adalah menjadi universal terpilih, seorang pemimpin dunia yang memerintah menurut pemahaman gerakan tentang Islam dan Syariah dan, dengan demikian, raja tidak mutlak sempurna. Berlawanan dengan apa yang banyak berpikir, khalifah bukan Mahdi (Mesias), paling tidak dalam konsepsi Hizb Ut-Tahrir itu.

Apakah penciptaan entitas-mega yang membentang sekitar dari Rabat ke Mindanao yang pernah layak di semua adalah satu masalah. Lebih penting lagi adalah pertanyaan apakah ideologi Hizb Ut-Tahrir adalah sebagai terputus dari realitas sebagai klaim beberapa.
Ini adalah pandangan saya:

Pertama, sistem Khilafah mungkin ideal, tetapi hal ini memang ada selama fase sejarah yang bertepatan dengan satu atau lain sejauh dengan ekspansi atau pembekuan dunia Islam. Kompleks suksesi dan legitimasi perjuangan samping, kekhalifahan utama para Leluhur Madinah (632-661), kekhalifahan Umayyah Damaskus (661-750), kekhalifahan Abassid Baghdad (750-1258) dan akhirnya Khilafah Utsmani (1517 - 1923), semua kemajuan luar biasa yang dialami dalam kekuasaan Islam politik, budaya, dan ilmiah. Bahwa Islam Negara Khilafah yang diusulkan oleh Hizb Ut-Tahrir berarti pemulihan situasi "Abad Pertengahan", karena banyak menuduh organisasi, karena itu benar. Namun, orang tidak harus memahami "Abad Pertengahan" sebagai "terbelakang" atau "primitif", setidaknya tidak dalam konteks dunia Islam - bagi banyak warga Muslim, "Abad Pertengahan" berarti sebaliknya.

Kedua, frustrasi mendalam dengan rezim yang memegang kekuasaan di dunia Islam saat ini ada baik di luar basis partai dan pengaruh. Meskipun gelombang yang sedang berlangsung revolusi Arab telah didorong oleh frustrasi sosial yang jauh lebih daripada ideologi, dan paling dari semua dengan agenda pan-Islam, Hizb Ut-Tahrir tetap menganggap mereka pembangunan harapan dalam arti bahwa mereka diarahkan terhadap Barat didukung (Mubarak) atau "anti-Islam" (Khadafi) rezim yang terlalu lama menindas masyarakat Muslim. Selain itu, kejatuhan rezim ini dirasakan oleh Hizb Ut-Tahrir sebagai pembukaan ruang baru untuk mendiskusikan ide mereka Khilafah secara lebih terbuka. Ini tidak selalu naif, karena banyak ketidakpuasan yang telah memicu gejolak ini telah disebabkan oleh kebijakan neoliberal, dan dengan demikian "westernisasi" dan "Modernisasi" dalam arti tertentu dianggap sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.

Namun, konsep Khilafah Islam Negara sebagai diartikulasikan oleh Hizb Ut-Tahrir tampaknya tidak menolak pencapaian teknologi modern, melainkan ingin menempatkan mereka dalam pelayanan organisasi apa yang dilihatnya sebagai pembebasan dan kemajuan dunia Islam.
Memang, organisasi ini telah berusaha untuk menempa kerangka ideologis global dan kesadaran melalui penggunaan media modern dan teknik komunikasi, serta jaringan migrasi dan filsafat politik kontemporer. Ketika menguraikan pemahaman mereka tentang Islam dan mengartikulasikan visi mereka tentang sistem sosial alternatif, mereka melakukannya dengan menerapkan analisis berbagai peristiwa saat ini. Jadi, meskipun mereka mungkin terhadap Modernitas, mereka tetap sangat modern - banyak kenyamanan Muslim online hari ini jaringan sosial.

Ketiga, Hizb Ut-Tahrir konsep Khilafah mencerminkan apa yang saya yakini adalah pemahaman perseptif kebutuhan untuk integrasi ekonomi sebenarnya dari dunia Islam. platform yang ada seperti Liga Arab, Gulf Cooperation Council atau Organisasi Kerjasama Ekonomi dianggap tidak dapat membawa perubahan nyata di bidang ini, karena sebagian besar mereka bersama-sama "pemerintah boneka" yang sama korup dan "anti-Islam" rezim yang pada dasarnya mengejar agenda kekuasaan nasional dan besar dan, dengan demikian, dianggap sebagai inti dari masalah utama dunia Islam. Selain itu, penghapusan perbatasan memiliki banding di daerah dan masyarakat di mana penegakan hukum mereka telah jauh, jika tidak sampai cacat konsekuensi bagi kehidupan dan ekonomi dari banyak penduduk. Contoh terbaik mungkin ini lembah Ferghana di Eurasia.

Sekali lagi, di satu sisi, Hizb Ut-Tahrir tidak naif karena dapat muncul: kebutuhan rasa memiliki atau memiliki tujuan bersama di dunia Islam sangat nyata. Memang, sebagai gerakan sebagian besar de-territorialised, Hizb Ut-Tahrir secara aktif mempromosikan diri sebagai yang identitas kelompok, tujuan-centerredness, dan integrasi lintas-regional dalam tindakan. Namun, di sisi lain, dalam pandangan saya Hizb Ut-Tahrir tampaknya tidak berniat untuk menjadi sebuah gerakan massa, juga tidak tampaknya mencari penciptaan Khilafah dari awal atau dalam kekosongan lengkap. promosi mereka dari diri mereka sendiri sebagai contoh dalam tindakan harus dipahami visi diri mereka sebagai sebuah partai pelopor revolusioner dalam arti tradisional, salah satu yang ingin rally dan menyebarkan ide-ide di antara kelompok-kelompok sosial yang ada dan lembaga. Memang, mereka menargetkan elemen-elemen masyarakat yang memiliki apa yang sering dianggap sebagai pengaruh yang nyata dan kekuatan efektif yang diperlukan untuk membawa perubahan, seperti angkatan bersenjata, layanan intelijen dan profesional.

Selain itu, berbeda dengan beberapa kelompok Salafi dan Takfiri yang telah menyebar perselisihan sektarian berdarah antara Sunnites dan Syiah, Hizb Ut-Tahrir adalah salah satu dari beberapa gerakan Islam Sunni untuk mempertimbangkan Syi'ah sebagai Muslim yang lengkap. Hal ini karena Syi'ah dianggap sebagai bagian dari realitas dunia Islam dan karena partai menganggap sektarianisme sebagai dasar untuk kebijakan membagi-dan-pemerintahan oleh musuh-musuh Islam. Sekali lagi, kita tidak harus meremehkan kepraktisan posisi ini dalam hal memperluas arena untuk perekrutan, baik.

Akhirnya, Hizb Ut-Tahrir menyoroti tidak adanya pelindung yang kredibel atau negara referensi yang akan, seolah-olah, "benar-benar berdiri" untuk membela dunia Islam - yaitu, analog untuk bagaimana beberapa kelompok Yahudi Amerika, seperti ADL atau AIPAC, melihat diri mereka bagi komunitas Yahudi yang lebih besar, termasuk Israel. Di mata sebagian besar dunia Islam Organisasi Konferensi Islam bisa tetapi tidak benar-benar memainkan peran itu, justru karena alasan-alasan yang sama dengan sifat gembira setengah arus platform integrasi regional. Selain itu, para pemimpin individu seperti Khadafi dan Saddam, yang pernah mencoba rally solidaritas pan-Islam, memiliki kredibilitas sedikit karena sifat sekuler rezim mereka. Memang, mereka secara luas dianggap sebagai oportunis.

Jadi, apa yang kita benar-benar melihat dengan Hizb Ut-Tahrir dan konsep Islam Negara Khilafah? Saya mengusulkan bahwa pada dasarnya merupakan bentuk atau penafsiran mengubah-globalisasi.

http://schwartztronica.wordpress.com/2011/03/25/why-hizb-ut-tahrir-is-wrong/#more-3648

Why Hizb ut-Tahrir is wrong

http://schwartztronica.files.wordpress.com/2011/03/abdulmecidii.jpg?w=218&h=269Hizb Ut-Tahrir is one of the world’s leading radical Islamist organizations. They propose “restoring” the Caliphate as the necessary precondition for “rejuvenating” the global Islamic community. This essay, originally published in three parts on neweurasia, constitutes my attempt to deconstruct their ideology. It’s point of departure is an essay by the University of Ghent’s Bruno De Cordier, also published on neweurasia, in which he defends the cogency of their ideology. (The photograph to the right is of the last Calph, Abdülmecid II.)
Last week, neweurasia ran a post by the University of Ghent’s Bruno de Cordier concerning his views on why the radical Islamist organization Hizb ut-Tahrir has been able to survive as long as it has despite sharp repression of its membership throughout Central Asia and the deep suspicion, even strong dislike for it evinced by the United States and many of its allies.
“I believe that the answer may lie in the extent to which the organization’s platform, if understood in a certain light, may be tapping into very real discontent and aspirations in the general population, and is responding to on-the-ground realities better than secular human rights organizations,” he argues. Fair enough, but let’s evaluate some of his evidence and lines of thought, and while we’re at it, Hizb Ut-Tahrir’s platform itself.
I shall move through Prof. De Cordier’s post and respond to it according to the order he uses therein. This first part shall deal with substance of the arguments for Hizb Ut-Tahrir’s vision of an Islamic super-state, particularly the Caliphate (paragraphs 2-6); the second part with Westernization, Modernization, and transnational integration (7-11), and the question of whether the global Islamic community needs a “defender” (12); and the final part with the bigger yet more fundamental questions of the efficacy and desirability of an Islamic super-state, faith, and “alter-globalism” (13). I’ve got a lot on my plate, but that’s because there’s a lot to dismantle, and much of it very crucial, because as I’ll ultimately argue in the third part, what’s rally at stake are differing visions of what it means to be human.
(1) The geographic area of the global Islamic community has the kind of resources, both human and geographical, that could make it superpower. What stops it from manifesting this potential is an inappropriate, indeed immoral and even criminal division of the community into its present array of independent nation-states (what Hizb ut-Tahrir disdainfully describes as “56 statelets”).
Idealism aside, this is an empty argument, since it can be easily re-applied in any number of other contexts, for example, the entirety of Africa, or the global Christian community, or Francophonic nations, and so on. Why would an Islamic super-state be any more philosophically cogent and historically necessary than any other kind of super-state?
The likeliest answer that Hizb Ut-Tahrir would proffer is: because God wills it. That initiates a very different, but no less important discussion about faith. I’ll defer on that until the third part of this analysis.
(2) The establishment of the Islamic super-state is the best way of rectifying and eliminating the criminality of prevailing Islamic political leaderships (“Hizb Ut-Tahrir’s ideology suggests not so much geographic expansion of the Islamic world as the liberation and re-unification of the Islamic world in its present shape…”)
Of course, the opposite could also be true: a super-state might just amplify and even complicate at an even larger scale the patterns of corruption, if not empower the current criminalistic dynasties. However, Hizb ut-Tahrir believes it has a solution to that…
(3) Not just any super-state will do, but rather a Caliphate, defined as “universally elected, a worldly leader who is to rule according to the movement’s understanding of Islam and Shariah and, as such, not an infallible absolute monarch.” Notably, the modern Caliph would not be messianic.
There are several very deep flaws to this view, but I’ll focus on what Hizb Ut-Tahrir isn’t saying: which madhhab do they intend to espouse? Doubtlessly, they intend to establish their own, perhaps derived from the existing ones, perhaps a new one built from the ground up. Either way, though, they are faced with two fundamental questions: what would be the theoretical basis and framework of their madhhab, and who would be designated with the task of developing it?
Indeed, what would be the selection procedure for determining who among the global Islamic community’s vast intelligentsia gets the job? Would religious minorities and dissenters, much less secularists, have any say? What about the various economic and military interests? As far as I can hear, Hizb ut-Tahrir does not propose an answer.
Arguably, that’s because they think it’s a discussion that can only be had once the polity exists. Fair enough. Many societies had to figure themselves out ex post facto to their own existence. However, it would be disingenuous, to say the least, to not admit that this process almost always entails civil strife, and indeed, civil war. In any new arrangement, especially one as thorough-going as that which Hizb Ut-Tahrir has in mind, there are going to be constellations of winners and losers, and rest assured that the latter won’t go down without a fight. In other words, if Hizb ut-Tahrir got its way, a very real and bloody fitna would result sooner or later.
Ironically, the fact that they are not messianic actually increases that likelihood. That’s because they would be posed by a critically serious and very fundamental problem, namely, on what ultimate authority are they to make any of these decisions? One can already hear the answer from the legions of those who would lose in the new order: on no credible authority whatsoever.
(4) The aim of re-establishing the Caliphate is neither patently absurd nor without good historical reasoning: essentially, Hizb Ut-Tahrir wants to restore the state of affairs that prevailed during the Middle Ages, when the Islamic community was the leading civilization. Since central to the community back then was the Caliphate, that institution is therefore a necessary precondition to rejuvenating the global Islamic community.
This reasoning is way too abstract. For one, it seems to ignore the impressive plurality of Caliphal types that prevailed throughout Islamic history, much less the fact that most of the great fitnas revolved around the very question of central authority that the institution one way or another symbolized. For another, beginning from the late Medieval period, the chief by-product of those conflicts was to gradually render the Caliphate per se irrelevant, replacing it with more secular monarchical or militaristic forms of leadership and the managerial class of the ulema.
In other words, not only is “Caliphate” a vastly imprecise idea content-wise, but whatever it means, its history proved as dynamic, yes, but also as destructive for Muslims as the Trinity did for Christians. So, “restoring” it is not only a rather big non sequitor, but even if restoration could actually happen, it would probably fuel more fitna.
With this in mind, we might be looking at quite an irony here, for the state of affairs I’m anticipating would indeed be “restoration” of the Islamic past in the fullest sense of the word: whatever good might conceivably come back with the Caliphate, it would necessarily bring back the bad, as well. That Hizb Ut-Tahrir has evidently either not confronted this possibility or chosen to avoid it is a sign of either intellectual weakness or dishonesty; either way, they’re playing with fire. Thus, all told, it might be better to let the Caliphate rest in peace.
(5) Hizb Ut-Tahrir believes it has the dual ability to simultaneously tap into widespread discontent in the global Islamic community toward Westernization and Modernization while also fully making use of those forces’ technological and conceptual products to do respond to, and even channel, that discontent, i.e., according to its own agenda.
There are two things going on in this assertion. The first is that Hizb Ut-Tahrir fundamentally believes that an innovation, whether it be a tool, methodology or institution, can be separated from the cultural context that birthed it, as well as the political (mis)uses made of it by that context. Again, as with (1), this is an empty argument, all the more so since there is no Islamist organization, to my knowledge at least, advocating for a de-technologization of Islamic society (the notable exception to this was the Taliban of the Nineties, but they have since abandoned this view).
There is, however, a widespread suspicion of Western political innovations. Many in the global Islamic community fear that, as one BBC blogger put it recently, democracy is a Western plot to dominate the global Islamic community. This is where Hizb Ut-Tahrir’s vision of the Caliphate is put to test, and that’s in two ways:
On the one hand, taking voting as an example, although elections per se are not a Western invention, universal suffrage is, and it remains to be seen whether a political methodology or institution can be purged of its original cultural, political and ideological imprints (in the next paragraph I explain why I’m presuming they have universal suffrage in mind). Moreover, Hizb Ut-Tahrir, alongside more liberal reformers as well, are up against discourses that are more than happy to exploit this ambiguity. When we hear certain governments claim that their citizens are “not ready” for democracy, and when we hear certain arch-radical Islamists claim that democracy is a “pollutant”, they are essentially relativizing it. Hizb Ut-Tahrir and others have to make the case that democracy is either Islamic or universal — or both (if possible). Until the recent events in the Middle East and North Africa, that seemed like a very hard sell in Islamic societies. Even harder, though, is figuring out to do once those societies have bought it.
On the other hand, they are confronted yet again with the question of what does it really mean to “restore” the Islamic past, but now from a different angle. When Hizb Ut-Tahrir says that the modern Caliph is to be elected, presumably they have in mind some kind of universal suffrage — otherwise they’re being extremely disingenuous. Here’s my thought process: since modern technology has been part and parcel of the development of modern political institutions, e.g., industriaization gave rise to the forms of social organization that, in turn, gave rise to liberal democracy, how else are we to interpret or reconcile their desire to “restore” a “Medieval” state of affairs and yet not de-technologize? In other words, either “restoration” is a metaphor or it’s literal: if the former, they necessarily must mean universal suffrage, in which case they’ve got to deal with the problems I described above; if the latter, though, then Hizb Ut-Tahrir has some serious owning up to do about their ideology.
The second suspect element of this assertion is whether the global Islamic community actually would want Hizb Ut-Tahrir’s agenda. That’s of course deeply related to the super-state question, to which I return in my third post.
(6) The Caliphate idea accomplishes several very necessary things for the global Islamic community: (a) it addresses a need for real economic integration of the Islamic world that is not being effectively performed by present transnational Isamic organizations; (b) it redresses the perceived wrongs of current border delineations; and (c) it addresses the deep-seated psychological need for membership.
With (a) and (b) I’m in general agreement, if not with Hizb Ut-Tahrir per se, then with Prof. De Cordier’s elaboration of their position. The simple truth is that most transnational Islamic organizations are toothless and laughable. Moreover, there have been countless tragedies in the ways political borders have been drawn throughout much of the global Islamic community. I attribute Hizb Ut-Tahrir’s persistence more to these realities than to the specifics of their ideology.
As for (c), this is actually the super-state question again, to which I shall return in my third post. For now, suffice it to say that this isn’t erroneous, but it may not really do justice to other considerations going on within, as it were, the Muslim psyche.
(7) “Hizb Ut-Tahrir highlights the absence of a credible protector or reference state that will, as it were, ‘really stand up’ for the defence of the Islamic world,” Prof. De Cordier writes, adding, “that is, an analogue to how some American Jewish groups, such as the ADL or AIPAC, view themselves for the larger Jewish community, including Israel.”
During the preparation of his editorial, Prof. De Cordier and I talked about this briefly. I believe this is a deeply problematic position for Hizb Ut-Tahrir to take, and the analogy to the Anti-Defamation League (ADL) and the American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) is telling.*
Speaking as a person of Jewish heritage, the truth is that both the Israeli political establishment and the broader Jewish Diaspora have very mixed feelings about these supposed “defenders” of world Jewry precisely because they have appointed themselves to the role. Of course, the Israeli political establishment has been more than happy to make use of these organizations for its own aims, but that’s not to say it actually supports their claim — rather, it’s content to let them remain deluded. As for everyday Jews (and Israelis), there is a wide variety of responses, from acceptance and even support to angry condemnation (I fall in the latter category).
This leads me to wonder: could Hizb Ut-Tahrir be risking the same responses? Could there eventually emerge some political establishment that sees them as useful for its own ends? And could the global Islamic community eventually come to be divided about them, unto the point of scorn? The first possibility is not entirely hypothetical. Consider: Uzbekistan and Turkmenistan have used Hizb Ut-Tahrir and other Islamist organizations’ claims to “stand up for” the global Islamic community as part of their pretext to suppress religious freedom — an ironic twist, for sure. And the second has actually happened to other Islamist organizations, most notably al-Qaeda, but many significantly less radical groups, as well. If I may be so bold, considering that a key aspect of Islamic ethics and theology is humility, perhaps Hizb Ut-Tahrir would do well, in very practical terms, to abide by it.
Hizb Ut-Tahrir’s view of themselves as a revolutionary vanguard, as Prof. De Cordier points out, certainly doesn’t help their situation. Not only does it give certain governments extra impetus to smother them and the general population cause to keep a distance, but since they are supposed to be not only the vessels of the Caliphate’s eventual revival but also its representatives in the here and now, then it casts the entire notion of “restoration” into decidedly revolutionary terms: to restore the Islamic past is to radically break with the (un-)Islamic present. And that leads me to the final question: the efficacy and desirability of an Islamic super-state.
* (I suspect there may be a lot of misunderstanding about whether the State of Israel purports to be a defender of world Jewry. The fact is that Israel does not see itself that way. Rather, it sees itself as the only place where “Jews can be Jews” or “Jews can be normal”, and that’s a subtle but important difference. The controversial Right of Return, which is the cornerstone of that vision and is often misconstrued, is fundamentally about post-Holocaust demographic security, not about defending the rights of Jews scattered far and wide. In other words, Israel wants the “in gathering of the tribes” — the maintenance of the Diaspora, at least for its own sake, is not a strategic aim.)
Would an Islamic super-state actually work?
The honest answer to this question is that no one actually knows. However, historical precedence is not very reassuring, as we’ve seen the majority of super-states struggle and ultimately fail to become coherent and sustainable. The Soviet Union and Yugoslavia are the most obvious examples of failure; Canada and Belgium are examples where the struggle is ongoing, and in far more humane and liberal conditions. However, in the latter case, it has led to a very strange state of affairs, as it were, a permanent crisis. Consider: these four are examples of super-states, large and small, that were trying to weld together geographic and linguistic zones far smaller than the Caliphate envisioned by Hizb Ut-Tahrir.
Arguably the only super-state that has succeeded so far has been the United States, in no small part due to the fact that much of its constituent states were the product of colonization from an original nucleus of member-states. But even then the United States underwent an intense civil war, as two very different political and economic traditions vied with each other, and to some extent that conflict is still being waged, except now through political discourse and taxation and military policies.
Key to the feasibility of any super-state is the question of ends: why or for what purpose does the polity exist? Is there some grander call, e.g., gaining the maximum number of people to submit to the Law of God, or is the goal more worldly, e.g., to exert dominance over other societies? And not only this, but what is the place of the quotidian aspects of a polity, e.g., trash collection or managing healthcare, in the scope of that purpose? As far as I can hear, Hizb Ut-Tahrir doesn’t have consistent or well-thought-out answers.
I should confess that in this regard, I’m actually somewhat sympathetic. As a member of the Baha’i Faith, it’s an article of my faith that there shall one day be established a worldwide super-state — we call it the “Global Commonwealth” — and although the general framework has been laid out for us by the founders of our religion, i.e., that the Commonwealth shall seek to re-harmonize the spiritual and material qualities of humanity and thus further advance civilization in a dual sense, that diversity shall nevertheless be retained within or alongside this new unity, that there shall be a just distribution of wealth and resources, and so on, the details have been left to the Baha’is and like-minded groups to figure out.
Nevertheless, I think there’s a crucial attitudinal difference between the Baha’is and Hizb Ut-Tahrir, namely, how we understand what it means to be faithful — that important subtlety that appeared as early as the first point in my first point. Do we really know what God wants? If not, that is, if we are in an uncertain universe, how can we still act, and do so with confidence and energy? The Baha’is respond by inculcating a state of mind of humble experimentation: the answer will be revealed over time, and even then, we may never fully comprehend it. Hizb Ut-Tahrir, however, appears to be much more convinced that they somehow do possess the answer with certainty and clarity. I think I’ve sufficiently demonstrated the dangers of their approach in my previous posts, so let’s move onto the next question.
Is a Caliphate really what Muslims want?
I confess that the idea of the Caliphate taps into a very real nostalgia for a time when there was, ostensibly at least, unity within the global Islamic community, and moreover, that nostalgia doesn’t have to be historically accurate or all that realistic. However, one immediately wonders whether the majority of Muslims would agree with the idea that the global Islamic community is, at root, a demos, much less an ethnos, i.e., a polity and an ethnicity.
To be sure, they certainly see themselves as (usually) brothers and sisters in a common spiritual fraternity. In the experience of both myself and countless other people, both Muslim and non-Muslim, who spend their time trying to access, as it were, the Muslim psyche, the overwhelming majority of Muslims would express various levels of discomfort at the notion of elevating their fraternity to anything as firm and fixed as a pan-Islamic national super-state. Rather, they seem to prefer present national and political identities, or at least ethnic and communal identities. Moreover, if Morocco and Turkey’s (albeit frustrated) attempts to join the European Union and the various revolutions that have rocked the Middle East and North Africa are any evidence, they’re just as interested, if not more so, in interacting and integrating with the larger non-Muslim world than just with each other.
Hizb Ut-Tahrir themselves tacitly admits that this is the case. Otherwise they wouldn’t be making such a huge effort to propagandize Islamic populations in the attempt to get the global Islamic community to see things their way (they, of course, prefer the euphemism dawa). What I wonder about is whether Hizb Ut-Tahrir is actually misdiagnosing the condition, i.e., seeing it as a problem of consciousness. In my view, the rank-and-file Muslim viewpoint, if I may speak in terms of such a vast generality, may actually have very real and meaningful content.
Here’s my reasoning: to be sure, the first impetus for wanting to vividly interact with and even integrate into the non-Muslim world is economic. However, underneath every economic, much less political strategy, there is a metaphysics, i.e., a sense of what it means to be human, and with it, a set of choices: if you see humanity one way, certain options occur to you that would not if you saw humanity another way. Clearly, the majority of several Muslim nations have considered it to be perfectly consistent to be Muslim and not necessarily part of a larger pan-Islamic national super-state, indicating that their vision of what it means to be human is something that transcends the particular identity category of “Muslim”.
Differing visions of humanity
So, let me conclude with this: what’s really at stake in examining Hizb Ut-Tahrir’s ideology is the question of how we understand tawhid or unity, that most fundamental of Islamic concepts: is tawhid only within the global Islamic community itself, or is it a human-spanning concept, and if so, in what way? Hizb ut-Tahrir opts for the latter, although doubtlessly they believe that eventually the global Islamic community shall be co-extensive with the human species (most likely through armed jihad emerging from the restored Caliphate). Everyday Muslims, however, seem to me more inclined to see the human species as simultaneously too broad and more fundamental than any one specific identity, including the Muslim one.
History can thank the influence of Sufi doctrines and not a little bit of secularization in this regard, but it is certainly a very different, and far less aggressive, conception of tawhid. Frankly, speaking as a Jew, whose history has been scarred by insufficient and inhumane tawhid; as a Baha’i, for whom tawhid is even more at the center of what it means to be religious, a journalist, and a human being; and most of all, as a human being, who, like all of us, longs for a real and deep reconciliation within our species, I’d take the “everyday” version of tawhid over Hizb ut-Tahrir’s any day. In the end, it is the truest, and it is right.
Mengapa Hizbut Tahrir adalah salah
 Hizb Ut-Tahrir adalah salah satu organisasi terkemuka di dunia Islam radikal. Mereka mengusulkan "memulihkan" Khilafah sebagai prasyarat yang diperlukan untuk "meremajakan" komunitas Islam global. Esai ini, awalnya diterbitkan dalam tiga bagian pada neweurasia, merupakan upaya saya untuk mendekonstruksi ideologi mereka. Ini titik tolak adalah sebuah esai oleh University of Ghent, Bruno De Cordier, juga diterbitkan di neweurasia, di mana ia membela hal yg meyakinkan ideologi mereka. (Foto di sebelah kanan adalah dari Calph terakhir, Abdülmecid II.)
Pekan lalu, neweurasia berlari dikirim oleh de Bruno Universitas Ghent's Cordier tentang pandangannya tentang mengapa Islam radikal organisasi Hizbut Tahrir telah mampu bertahan selama ini telah walaupun represi yang tajam dari keanggotaannya di seluruh Asia Tengah dan mendalam kecurigaan, bahkan tidak suka yang kuat untuk itu yang tampak oleh Amerika Serikat dan banyak sekutunya.
"Saya percaya bahwa jawabannya mungkin terletak pada sejauh mana organisasi platform, jika dipahami dalam cahaya tertentu, dapat memanfaatkan ketidakpuasan yang sangat nyata dan aspirasi dalam populasi umum, dan merespons realitas di lapangan-lebih baik daripada sekuler organisasi hak asasi manusia, "ia berpendapat. Cukup adil, tetapi mari kita evaluasi beberapa bukti dan garis pemikiran, dan sementara kita berada di dalamnya, platform Hizb Ut-Tahrir itu sendiri.
Saya akan bergerak melalui pos Prof De Cordier dan menanggapinya sesuai dengan pesanan ia menggunakan dalamnya. Bagian pertama ini akan membahas substansi argumen untuk visi Hizb Ut-Tahrir dari sebuah negara super-Islam, khususnya Khilafah (ayat 2-6), bagian kedua dengan Westernisasi, Modernisasi, dan integrasi transnasional (7-11), dan pertanyaan apakah komunitas Islam global memerlukan "pembela" (12), dan bagian akhir dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar lebih besar namun lebih dari efektivitas dan keinginan dari iman, Islam super-negara, dan "mengubah-globalisme" ( 13). Saya punya banyak di piring saya, tapi itu karena ada banyak untuk membongkar, dan banyak sangat penting, karena saat aku akhirnya akan berdebat di bagian ketiga, apa rally dipertaruhkan adalah berbeda visi dari apa artinya menjadi manusia.
(1) wilayah geografis dari komunitas Islam global jenis sumber daya, baik manusia dan geografis, yang bisa membuat negara adidaya. Apa berhenti dari mewujudkan potensi ini adalah divisi yang tidak sesuai, memang tidak bermoral dan bahkan kriminal masyarakat ke array yang sekarang negara-bangsa independen (apa yang Hizbut Tahrir jijik menggambarkan sebagai "56 statelets").
Idealisme samping, ini merupakan argumen yang kosong, karena dapat dengan mudah kembali diterapkan di sejumlah konteks lain, misalnya, seluruh Afrika, atau komunitas Kristen global, atau bangsa Francophonic, dan sebagainya. Mengapa sebuah super-negara Islam akan sedikit lebih filosofis dan historis yang diperlukan meyakinkan daripada jenis lain super-negara?
Jawaban paling mungkin bahwa Hizb Ut-Tahrir akan mengajukan adalah: karena Allah menghendakinya. Itu inisiat sangat berbeda, tapi ada diskusi kurang penting tentang iman. Aku akan menangguhkan sampai bagian ketiga dari analisis ini.
(2) Pembentukan negara super Islam-adalah cara terbaik untuk meluruskan dan menghilangkan kriminalitas yang berlaku kepemimpinan politik Islam ("ideologi Hizb Ut-Tahrir menyatakan tidak ekspansi geografis begitu banyak dunia Islam sebagai pembebasan dan re-unifikasi dunia Islam dalam bentuk yang sekarang ... ")
Tentu saja, sebaliknya juga bisa benar: negara-super mungkin hanya memperkuat dan bahkan mempersulit pada skala yang lebih besar pola korupsi, jika tidak memberdayakan dinasti criminalistic saat ini. Namun, Hizbut Tahrir berpendapat memiliki solusi untuk yang ...
(3) Tidak hanya setiap negara super akan melakukan, melainkan Khilafah, yang didefinisikan sebagai "universal terpilih, seorang pemimpin dunia yang memerintah menurut pemahaman gerakan tentang Islam dan Syariah dan, dengan demikian, raja tidak mutlak sempurna. "Terutama, Khalifah modern tidak akan mesianis.
Ada beberapa kelemahan yang sangat mendalam untuk melihat ini, tapi saya akan berfokus pada apa Hizb Ut-Tahrir tidak mengatakan: yang mazhab mereka bermaksud untuk mendukung? Diragukan lagi, mereka bermaksud untuk mendirikan sendiri, mungkin berasal dari yang sudah ada, mungkin yang baru dibangun dari bawah ke atas. Either way, meskipun, mereka dihadapkan dengan dua pertanyaan mendasar: apa yang akan menjadi basis teoritis dan kerangka mazhab mereka, dan yang akan ditunjuk dengan tugas pengembangan itu?
Memang, apa yang akan menjadi prosedur seleksi untuk menentukan siapa di antara kaum intelektual luas masyarakat Islam global mendapatkan pekerjaan? Apakah agama minoritas dan pembangkang, apalagi sekuler, memiliki katakan? Bagaimana dengan kepentingan ekonomi dan militer berbagai? Sejauh yang saya bisa mendengar, Hizbut Tahrir tidak mengusulkan jawaban.
Diperdebatkan, itu karena mereka berpikir itu merupakan diskusi yang hanya bisa negara yang pernah ada. Cukup adil. Banyak masyarakat harus mencari diri keluar ex post facto keberadaan mereka sendiri. Namun, itu akan jujur, untuk sedikitnya, untuk tidak mengakui bahwa proses ini hampir selalu melibatkan perselisihan sipil, dan memang, perang sipil. Dalam setiap pengaturan baru, terutama yang menyeluruh-akan sebagai sesuatu yang Hizb Ut-Tahrir memiliki dalam pikiran, ada akan konstelasi pemenang dan pecundang, dan kami pastikan bahwa yang terakhir tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Dengan kata lain, jika Hizbut Tahrir mendapat jalan, sebuah fitnah yang sangat nyata dan berdarah akan mengakibatkan cepat atau lambat.
Ironisnya, fakta bahwa mereka tidak mesianis sebenarnya meningkatkan bahwa kemungkinan. Itu karena mereka akan ditimbulkan oleh masalah kritis yang serius dan sangat mendasar, yaitu, pada apa otoritas tertinggi yang mereka untuk membuat keputusan ini? Satu sudah bisa mendengar jawaban dari pasukan mereka yang akan kalah dalam orde baru: pada no otoritas kredibel apapun.
(4) Tujuan mendirikan kembali Khilafah bukanlah terang-terangan masuk akal atau tanpa alasan sejarah yang baik: pada dasarnya, Hizb Ut-Tahrir ingin mengembalikan keadaan yang berlaku selama Abad Pertengahan, ketika masyarakat Islam adalah peradaban terkemuka. Sejak pusat masyarakat ketika itu adalah Khilafah, institusi yang oleh karena itu prasyarat yang diperlukan untuk meremajakan komunitas Islam global.
Pemikiran ini terlalu abstrak. Untuk satu, tampaknya untuk mengabaikan pluralitas mengesankan jenis Khalifah yang berlaku sepanjang sejarah Islam, apalagi kenyataan bahwa sebagian besar fitnas besar seputar pertanyaan yang sangat otoritas sentral yang lembaga satu atau lain cara dilambangkan. Untuk yang lain, mulai dari periode akhir Abad Pertengahan, kepala dengan-produk dari konflik adalah untuk secara bertahap membuat kekhalifahan per se tidak relevan, menggantikannya dengan bentuk monarki atau militeristik sekuler lebih kepemimpinan dan manajerial kelas ulama.
Dengan kata lain, tidak hanya adalah "Khilafah" ide yang sangat tidak tepat konten-bijaksana, tapi apa pun itu berarti, sejarahnya terbukti sebagai dinamis, ya, tetapi juga merusak bagi Muslim sebagai Trinitas lakukan untuk orang Kristen. Jadi, "memulihkan" itu bukan hanya non sequitor agak besar, tetapi bahkan jika pemulihan benar-benar bisa terjadi, mungkin akan memicu fitnah lebih.
Dengan pemikiran ini, kita mungkin akan melihat cukup ironi di sini, untuk keadaan saya mengantisipasi memang akan "pemulihan" dari masa lalu Islam dalam arti sepenuhnya dari kata itu: apa yang baik dibayangkan mungkin akan kembali dengan Khilafah, itu tentu akan membawa kembali yang buruk, juga. Itu Hizb Ut-Tahrir telah terbukti baik tidak dihadapkan kemungkinan ini atau memilih untuk menghindari hal itu merupakan tanda baik kelemahan intelektual atau ketidakjujuran, cara baik, mereka bermain dengan api. Jadi, semua mengatakan, mungkin lebih baik untuk membiarkan sisanya kekhalifahan dalam damai.
(5) Hizb Ut-Tahrir yakin memiliki kemampuan ganda untuk secara bersamaan memasuki ketidakpuasan luas dalam komunitas Islam global terhadap Westernisasi dan Modernisasi sementara juga sepenuhnya memanfaatkan produk kekuatan-kekuatan 'teknologi dan konseptual untuk tidak menanggapi, dan bahkan saluran, bahwa ketidakpuasan, yaitu, menurut agenda sendiri.
Ada dua hal yang terjadi di dalam pernyataan ini. Yang pertama adalah bahwa Hizb Ut-Tahrir dasarnya percaya bahwa inovasi, baik itu alat, metodologi atau lembaga, dapat dipisahkan dari konteks budaya yang melahirkan itu, serta politik (salah) menggunakan terbuat dari itu dengan konteks yang . Sekali lagi, seperti dengan (1), ini merupakan argumen yang kosong, lebih-lebih karena tidak ada organisasi Islam, untuk pengetahuan saya setidaknya, advokasi untuk technologization-de masyarakat Islam (pengecualian untuk ini adalah Taliban tahun sembilan puluhan, tetapi mereka telah sejak meninggalkan pandangan ini).
Ada, bagaimanapun, kecurigaan luas inovasi politik Barat. Banyak dalam takut komunitas global Islam yang, sebagai salah satu blogger BBC baru-baru ini menaruh, demokrasi adalah plot Barat untuk mendominasi masyarakat Islam global. Di sinilah visi Hizb Ut-Tahrir kekhalifahan diletakkan untuk menguji, dan itu dalam dua cara:
Di satu sisi, mengambil suara sebagai contoh, meskipun pemilu per se bukan penemuan Barat, hak pilih universal, dan masih harus dilihat apakah suatu metodologi politik atau institusi dapat dibersihkan dari cetakan aslinya budaya, politik dan ideologi ( dalam paragraf berikutnya saya menjelaskan mengapa saya menganggap mereka memiliki hak pilih universal dalam pikiran). Selain itu, Hizb Ut-Tahrir, bersama reformis liberal lebih juga, yang naik terhadap wacana yang lebih dari senang untuk mengeksploitasi ambiguitas ini. Ketika kita mendengar pemerintah tertentu mengklaim bahwa warga negara mereka yang "tidak siap" untuk demokrasi, dan ketika kita mendengar Islamis lengkungan-radikal tertentu mengklaim bahwa demokrasi adalah "polutan", mereka sebenarnya adalah relativis itu. Hizb Ut-Tahrir dan lain-lain harus membuat kasus bahwa demokrasi adalah baik Islam atau universal - atau keduanya (jika mungkin). Sampai peristiwa baru-baru ini di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang tampaknya seperti menjual dengan sangat keras di masyarakat Islam. Bahkan lebih keras, meskipun, adalah mencari tahu untuk lakukan setelah mereka masyarakat telah membelinya.
Di sisi lain, mereka dihadapkan lagi dengan pertanyaan tentang apa yang benar-benar berarti untuk "mengembalikan" Islam masa lalu, tapi sekarang dari sudut yang berbeda. Ketika Hizb Ut-Tahrir mengatakan bahwa khalifah modern adalah untuk dipilih, mungkin mereka ada dalam pikiran semacam hak pilih universal - jika mereka sedang sangat jujur. Berikut proses berpikir saya: karena teknologi modern telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan lembaga-lembaga politik modern, misalnya, industriaization memunculkan bentuk organisasi sosial yang, pada gilirannya, memunculkan demokrasi liberal, bagaimana lagi kita untuk menafsirkan atau mendamaikan keinginan mereka untuk "mengembalikan" suatu "Abad Pertengahan" keadaan namun tidak de-technologize? Dengan kata lain, baik "restorasi" adalah metafora atau itu literal: jika yang pertama, mereka tentu harus berarti hak pilih universal, dalam hal ini mereka harus menghadapi masalah yang saya dijelaskan di atas, jika yang terakhir, meskipun, maka Hizb ut-Tahrir memiliki beberapa serius memiliki sampai dengan melakukan tentang ideologi mereka.
Unsur mencurigai kedua dari pernyataan ini adalah apakah masyarakat Islam global benar-benar ingin agenda Hizb Ut-Tahrir. Itu tentu saja sangat terkait dengan pertanyaan super-negara, yang saya kembali di posting ketiga.
(6) Ide Khilafah menyelesaikan beberapa hal yang sangat penting bagi komunitas Islam global: (a) alamat yang harus untuk integrasi ekonomi nyata dari dunia Islam yang tidak efektif dilakukan oleh organisasi ini Isamic transnasional; (b) yang redresses dianggap kesalahan dari delineations perbatasan saat ini, dan (c) memenuhi kebutuhan psikologis yang mendalam untuk keanggotaan.
Dengan (a) dan (b) Saya dalam perjanjian umum, jika tidak dengan Hizb Ut-Tahrir per se, maka dengan elaborasi Prof De Cordier tentang posisi mereka. Kebenaran yang sederhana adalah bahwa organisasi Islam yang paling transnasional yang ompong dan menggelikan. Selain itu, ada tragedi yang tak terhitung jumlahnya dalam batas cara politik telah ditarik di banyak komunitas Islam global. Aku atribut ketekunan Hizb Ut-Tahrir lebih realitas daripada secara spesifik ideologi mereka.
Adapun (c), ini sebenarnya adalah pertanyaan super-negara lagi, yang saya akan kembali di posting ketiga. Untuk saat ini, cukup untuk mengatakan bahwa ini tidak salah, tetapi mungkin tidak benar-benar melakukan keadilan untuk pertimbangan lain terjadi di dalam, seolah-olah, jiwa Muslim.
(7) "Hizb Ut-Tahrir menyoroti tidak adanya pelindung yang kredibel atau negara referensi yang akan, seolah-olah, 'benar-benar berdiri' untuk membela dunia Islam," tulis Prof De Cordier, menambahkan, "yang , sebuah analog bagaimana beberapa kelompok Yahudi Amerika, seperti ADL atau AIPAC, melihat diri mereka bagi komunitas Yahudi yang lebih besar, termasuk Israel. "
Selama persiapan editorial, Prof De Cordier dan aku berbicara tentang singkat ini. Saya percaya ini adalah posisi yang sangat bermasalah untuk Hizb Ut-Tahrir untuk mengambil, dan analogi ke Liga Anti-Fitnah (ADL) dan American Komite Urusan Publik Israel (AIPAC) adalah memberitahu .*
Berbicara sebagai orang warisan Yahudi, kebenaran adalah bahwa kedua pendirian politik Israel dan Diaspora Yahudi yang lebih luas memiliki perasaan yang sangat beragam tentang ini "pembela" seharusnya dunia Yahudi justru karena mereka telah mengangkat diri peran. Tentu saja, pendirian politik Israel telah lebih dari senang untuk memanfaatkan organisasi ini untuk tujuan-tujuan sendiri, tapi itu bukan berarti itu benar-benar mendukung klaim mereka - lebih tepatnya, itu konten untuk membiarkan mereka tetap tertipu. Adapun orang-orang Yahudi sehari-hari (dan Israel), ada berbagai macam tanggapan, dari penerimaan dan bahkan dukungan untuk penghukuman marah (aku jatuh dalam kategori yang terakhir).
Hal ini menyebabkan saya bertanya-tanya: bisa Hizb Ut-Tahrir akan mempertaruhkan respon yang sama? Mungkinkah ada akhirnya muncul beberapa pendirian politik yang melihat mereka sebagai berguna untuk kepentingan sendiri? Dan bisa komunitas Islam global akhirnya datang untuk dibagi tentang mereka, kepada titik cemooh? Kemungkinan pertama tidak seluruhnya hipotetis. Pertimbangkan: Uzbekistan dan Turkmenistan telah menggunakan Hizb Ut-Tahrir dan klaim organisasi-organisasi Islam lain untuk "membela" masyarakat Islam global sebagai bagian dari alasan mereka untuk menekan kebebasan beragama - yang ironis, pasti. Dan kedua telah benar-benar terjadi kepada organisasi Islam lainnya, terutama al-Qaeda, namun kelompok-kelompok radikal signifikan kurang banyak, juga. Jika Aku mungkin begitu berani, mengingat bahwa aspek kunci dari etika Islam dan teologi adalah kerendahan hati, mungkin Hizb Ut-Tahrir akan melakukannya dengan baik, dalam hal yang sangat praktis, untuk mematuhinya.
pandangan Hizb Ut-Tahrir diri mereka sebagai pelopor revolusioner, seperti Prof De Cordier menunjukkan, tentu tidak akan memperbaiki situasi mereka. Tidak hanya memberikan pemerintah tertentu dorongan ekstra untuk melimpahi mereka dan menyebabkan masyarakat umum untuk menjaga jarak, tapi karena mereka seharusnya tidak hanya kapal kebangkitan akhirnya kekhalifahan, tetapi juga wakilnya di sini dan sekarang, maka melemparkan seluruh gagasan "restorasi" ke dalam istilah jelas revolusioner: untuk mengembalikan masa lalu Islam adalah untuk radikal memutuskan hubungan dengan masa kini (un-) Islam. Dan yang membuat saya untuk pertanyaan terakhir: kemanjuran dan keinginan negara super-Islam.
* (Aku curiga mungkin ada banyak kesalahpahaman tentang apakah Negara Israel dimaksudkan untuk menjadi pembela Yahudi dunia. Kenyataannya adalah bahwa Israel tidak melihat dirinya seperti itu Sebaliknya,. Itu melihat dirinya sebagai satu-satunya tempat di mana "orang-orang Yahudi dapat Yahudi "atau" orang-orang Yahudi dapat menjadi "normal, dan itulah perbedaan yang halus namun penting yang kontroversial Hak Kembali, yang merupakan landasan dari visi itu dan sering disalahartikan,. adalah keamanan demografis fundamental tentang pasca-Holocaust, bukan tentang membela . hak-hak orang Yahudi tersebar jauh dan luas Dengan kata lain, Israel menginginkan "mengumpulkan dari suku-suku" - pemeliharaan Diaspora, setidaknya untuk kepentingan sendiri, bukan merupakan tujuan strategis).
Apakah sebuah super-negara Islam benar-benar bekerja?
Jawaban jujur
​​atas pertanyaan ini adalah bahwa tidak ada yang benar-benar tahu. Namun, preseden sejarah sangat tidak meyakinkan, seperti yang kita telah melihat mayoritas negara super-perjuangan dan akhirnya gagal untuk menjadi koheren dan berkelanjutan. Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contoh paling jelas dari kegagalan; Kanada dan Belgia adalah contoh di mana perjuangan sedang berlangsung, dan dalam kondisi yang jauh lebih manusiawi dan liberal. Namun, dalam kasus terakhir, telah menyebabkan kondisi yang sangat aneh urusan, seolah-olah, krisis permanen. Perhatikan: keempat adalah contoh dari super-negara bagian, besar dan kecil, yang berusaha untuk mengelas zona bersama geografis dan bahasa jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekhalifahan yang dibayangkan oleh Hizbut Tahrir Ut.
Arguably hanya super-negara yang telah berhasil sejauh ini Amerika Serikat, tidak ada bagian kecil karena fakta bahwa banyak negara penyusunnya adalah produk dari penjajahan dari inti asli dari negara-negara anggota. Tetapi bahkan kemudian Amerika Serikat mengalami perang sipil yang kuat, sebagai dua tradisi politik dan ekonomi yang sangat berbeda bersaing satu sama lain, dan sampai batas tertentu bahwa konflik masih terus dilancarkan, kecuali sekarang melalui wacana politik dan perpajakan dan kebijakan militer.
Kunci untuk kelayakan dari setiap negara-super pertanyaan berakhir: mengapa atau untuk apa tujuan dilakukannya pemerintahan yang ada? Apakah ada beberapa panggilan megah, misalnya, mendapatkan jumlah maksimum orang untuk tunduk kepada Hukum Allah, atau adalah tujuan yang lebih duniawi, misalnya, untuk mengerahkan dominasi atas masyarakat lain? Dan tidak hanya ini, tetapi apa tempat aspek yg terjadi setiap hari dari sebuah pemerintahan, misalnya, pengumpulan sampah atau mengelola kesehatan, di lingkup tujuan itu? Sejauh yang saya bisa mendengar, Hizb Ut-Tahrir tidak memiliki jawaban konsisten atau baik-pikir-out.
Saya harus mengakui bahwa dalam hal ini, aku sebenarnya agak simpatik. Sebagai anggota Iman Baha'i, itu sebuah artikel iman saya bahwa akan ada suatu hari dibentuk suatu super-negara di seluruh dunia - kami menyebutnya "Global Persemakmuran" - dan meskipun kerangka umum yang telah direncanakan untuk kita oleh pendiri agama kita, yaitu, bahwa Pemerintah Australia akan berusaha untuk kembali menyelaraskan kualitas spiritual dan material kemanusiaan dan dengan demikian peradaban maju lebih lanjut dalam arti ganda, bahwa keragaman tetap harus disimpan di dalam atau di samping ini persatuan baru, yang ada harus hanya menjadi distribusi kekayaan dan sumber daya, dan seterusnya, rincian telah diserahkan kepada Baha'i dan kelompok-kelompok yang berpikiran untuk mencari tahu.
Namun demikian, saya pikir ada perbedaan sikap penting antara Baha'i dan Hizb Ut-Tahrir, yaitu, bagaimana kita memahami apa artinya menjadi setia - yang kehalusan penting yang muncul pada awal sebagai titik pertama di titik pertama saya. Apakah kita benar-benar tahu apa yang Allah inginkan? Jika tidak, yaitu, jika kita berada di alam semesta yang tidak pasti, bagaimana mungkin kita masih bertindak, dan melakukannya dengan keyakinan dan energi? The Baha'i merespon dengan menanamkan keadaan pikiran percobaan sederhana: jawabannya akan terungkap dari waktu ke waktu, dan bahkan kemudian, kami mungkin tidak akan pernah sepenuhnya memahaminya. Hizb Ut-Tahrir, namun, tampaknya jauh lebih yakin bahwa entah bagaimana mereka lakukan memiliki jawaban dengan kepastian dan kejelasan. Saya pikir saya sudah cukup menunjukkan bahaya pendekatan mereka dalam posting saya sebelumnya, jadi mari kita pindah ke pertanyaan berikutnya.
Apakah Khilafah benar-benar apa yang umat Islam inginkan?
Saya mengakui bahwa gagasan keran kekhalifahan menjadi nostalgia yang sangat nyata bagi waktu ketika ada, pura-pura setidaknya, kesatuan dalam masyarakat Islam global, dan terlebih lagi, nostalgia yang tidak harus secara historis akurat atau semua yang realistis. Namun, satu langsung bertanya-tanya apakah mayoritas Muslim akan setuju dengan ide bahwa komunitas Islam global, pada dasarnya, sebuah demo, apalagi sebuah ethnos, yaitu, pemerintahan dan etnis sebuah.
Yang pasti, mereka tentu melihat diri mereka sebagai (biasanya) saudara dan saudari dalam persaudaraan rohani umum. Dalam pengalaman baik diri sendiri dan orang lain yang tak terhitung jumlahnya, baik Muslim dan non-Muslim, yang menghabiskan waktu mereka mencoba untuk mengakses, seolah-olah, jiwa Muslim, mayoritas umat Islam akan mengungkapkan berbagai tingkat ketidaknyamanan pada gagasan mengangkat persaudaraan mereka untuk sesuatu sebagai perusahaan dan tetap sebagai negara nasional pan-Islam super. Sebaliknya, mereka tampaknya lebih memilih identitas nasional dan politik sekarang, atau identitas etnis dan komunal sedikit. Apalagi jika (meskipun frustrasi) Maroko dan Turki upaya untuk bergabung dengan Uni Eropa dan berbagai revolusi yang telah mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan bukti apapun, mereka hanya seperti tertarik, jika tidak lebih dari itu, dalam berinteraksi dan mengintegrasikan dengan dunia non-Muslim lebih besar daripada hanya dengan satu sama lain.
Hizb Ut-Tahrir sendiri diam-diam mengakui bahwa hal ini terjadi. Jika mereka tidak akan membuat seperti usaha besar untuk mempropagandakan populasi Islam dalam upaya untuk mendapatkan komunitas Islam global untuk melihat sesuatu dengan cara mereka (mereka, tentu saja, lebih suka Dawa eufemisme). Apa yang saya bertanya-tanya tentang adalah apakah Hizb Ut-Tahrir sebenarnya misdiagnosing kondisi, yaitu, melihat itu sebagai masalah kesadaran. Dalam pandangan saya, sudut pandang Islam rank-and-file, jika saya dapat berbicara dalam hal seperti umum yang luas, sebenarnya mungkin memiliki kandungan sangat nyata dan berarti.
Berikut alasan saya: untuk memastikan, dorongan pertama untuk yang ingin jelas dan bahkan berinteraksi dengan mengintegrasikan ke dalam dunia non-Muslim adalah ekonomi. Namun, di bawah setiap strategi, ekonomi apalagi politik, ada metafisika, yaitu rasa apa artinya menjadi manusia, dan dengan itu, satu set pilihan: jika Anda melihat kemanusiaan satu cara, opsi tertentu terjadi kepada Anda bahwa tidak akan jika Anda melihat kemanusiaan dengan cara lain. Jelas, mayoritas beberapa negara Muslim menganggap untuk menjadi sempurna konsisten untuk menjadi Muslim dan belum tentu bagian dari pan-Islam negara yang lebih besar nasional super-, menunjukkan bahwa visi mereka tentang apa artinya menjadi manusia adalah sesuatu yang melampaui tertentu identitas kategori "Muslim".
Berbeda visi kemanusiaan
Jadi, izinkan saya menyimpulkan dengan ini: apa yang sebenarnya yang dipertaruhkan dalam memeriksa ideologi Hizb Ut-Tahrir adalah pertanyaan tentang bagaimana kita memahami tauhid atau kesatuan, yang paling mendasar dari konsep-konsep Islam: adalah tauhid hanya dalam komunitas Islam global itu sendiri, atau itu manusia-mencakup konsep, dan jika demikian, dalam hal apa? Hizbut Tahrir opts untuk yang kedua, meskipun tidak diragukan lagi mereka percaya bahwa pada akhirnya masyarakat Islam global harus bersama-luas dengan spesies manusia (biasanya melalui jihad bersenjata muncul dari kekhalifahan dikembalikan). Setiap hari Muslim, bagaimanapun, tampaknya saya lebih cenderung melihat spesies manusia secara simultan terlalu luas dan lebih fundamental daripada identitas seseorang tertentu, termasuk Muslim satu.
Sejarah bisa berterima kasih pengaruh doktrin Sufi dan tidak sedikit sekularisasi dalam hal ini, namun jelas sangat berbeda, dan jauh kurang agresif, konsepsi tauhid. Terus terang, berbicara sebagai seorang Yahudi, yang sejarahnya telah terluka oleh mencukupi dan tidak manusiawi tauhid, sebagai Baha'i, untuk siapa tauhid bahkan lebih di pusat dari apa artinya menjadi agama, jurnalis, dan manusia, dan sebagian besar dari semua, sebagai manusia, yang, seperti kita semua, merindukan rekonsiliasi nyata dan jauh di dalam spesies kita, aku akan mengambil "sehari-hari" versi tawhid atas setiap hari Hizbut Tahrir. Pada akhirnya, itu adalah paling benar, dan hal itu adalah benar.

Why Hizb Ut-Tahrir is wrong, part 3: what it means to be human

Protesters defending a more humane vision of Islam. Photograph by Flickr user Derek7272 (CC-usage).
Protesters defending a more humane vision of Islam. Photograph by Flickr user Derek7272 (CC-usage).
Editor’s note: Hizb Ut-Tahrir envisions the establishment of a pan-Islamic super-state, but would it even work? Is it even what Muslims want? neweurasia’s Schwartz doesn’t think so. What’s at stake are two very different understandings of unity and humanity, the one of everyday people versus the one of radicals — and that difference is everything.
In my first post I examined the inner logic of Hizb Ut-Tahrir’s vision of a restored Caliphate and in my second I did the same for their approach to Modernity. To wrap this up, I now turn to the more fundamental questions: would an Islamic super-state actually work, and is this something that Muslims even really want? That second question is the more important of the two, as ultimately it’s really dealing with differing views of what it means to be human.
Would an Islamic super-state actually work?
The honest answer to this question is that no one actually knows. However, historical precedence is not very reassuring, as we’ve seen the majority of super-states struggle and ultimately fail to become coherent and sustainable. The Soviet Union and Yugoslavia are the most obvious examples of failure; Canada and Belgium are examples where the struggle is ongoing, and in far more humane and liberal conditions. However, in the latter case, it has led to a very strange state of affairs, as it were, a permanent crisis. Consider: these four are examples of super-states, large and small, that were trying to weld together geographic and linguistic zones far smaller than the Caliphate envisioned by Hizb Ut-Tahrir.
Arguably the only super-state that has succeeded so far has been the United States, in no small part due to the fact that much of its constituent states were the product of colonization from an original nucleus of member-states. But even then the United States underwent an intense civil war, as two very different political and economic traditions vied with each other, and to some extent that conflict is still being waged, except now through political discourse and taxation and military policies.
Key to the feasibility of any super-state is the question of ends: why or for what purpose does the polity exist? Is there some grander call, e.g., gaining the maximum number of people to submit to the Law of God, or is the goal more worldly, e.g., to exert dominance over other societies? And not only this, but what is the place of the quotidian aspects of a polity, e.g., trash collection or managing healthcare, in the scope of that purpose? As far as I can hear, Hizb Ut-Tahrir doesn’t have consistent or well-thought-out answers.
I should confess that in this regard, I’m actually somewhat sympathetic. As a member of the Baha’i Faith, it’s an article of my faith that there shall one day be established a worldwide super-state — we call it the “Global Commonwealth” — and although the general framework has been laid out for us by the founders of our religion, i.e., that the Commonwealth shall seek to re-harmonize the spiritual and material qualities of humanity and thus further advance civilization in a dual sense, that diversity shall nevertheless be retained within or alongside this new unity, that there shall be a just distribution of wealth and resources, and so on, the details have been left to the Baha’is and like-minded groups to figure out.
Nevertheless, I think there’s a crucial attitudinal difference between the Baha’is and Hizb Ut-Tahrir, namely, how we understand what it means to be faithful — that important subtlety that appeared as early as the first point in my first point. Do we really know what God wants? If not, that is, if we are in an uncertain universe, how can we still act, and do so with confidence and energy? The Baha’is respond by inculcating a state of mind of humble experimentation: the answer will be revealed over time, and even then, we may never fully comprehend it. Hizb Ut-Tahrir, however, appears to be much more convinced that they somehow do possess the answer with certainty and clarity. I think I’ve sufficiently demonstrated the dangers of their approach in my previous posts, so let’s move onto the next question.
Is a Caliphate really what Muslims want?
I confess that the idea of the Caliphate taps into a very real nostalgia for a time when there was, ostensibly at least, unity within the global Islamic community, and moreover, that nostalgia doesn’t have to be historically accurate or all that realistic. However, one immediately wonders whether the majority of Muslims would agree with the idea that the global Islamic community is, at root, a demos, much less an ethnos, i.e., a polity and an ethnicity.
To be sure, they certainly see themselves as (usually) brothers and sisters in a common spiritual fraternity. In the experience of both myself and countless other people, both Muslim and non-Muslim, who spend their time trying to access, as it were, the Muslim psyche, the overwhelming majority of Muslims would express various levels of discomfort at the notion of elevating their fraternity to anything as firm and fixed as a pan-Islamic national super-state. Rather, they seem to prefer present national and political identities, or at least ethnic and communal identities. Moreover, if Morocco and Turkey’s (albeit frustrated) attempts to join the European Union and the various revolutions that have rocked the Middle East and North Africa are any evidence, they’re just as interested, if not more so, in interacting and integrating with the larger non-Muslim world than just with each other.
Hizb Ut-Tahrir themselves tacitly admits that this is the case. Otherwise they wouldn’t be making such a huge effort to propagandize Islamic populations in the attempt to get the global Islamic community to see things their way (they, of course, prefer the euphemism dawa). What I wonder about is whether Hizb Ut-Tahrir is actually misdiagnosing the condition, i.e., seeing it as a problem of consciousness. In my view, the rank-and-file Muslim viewpoint, if I may speak in terms of such a vast generality, may actually have very real and meaningful content.
Here’s my reasoning: to be sure, the first impetus for wanting to vividly interact with and even integrate into the non-Muslim world is economic. However, underneath every economic, much less political strategy, there is a metaphysics, i.e., a sense of what it means to be human, and with it, a set of choices: if you see humanity one way, certain options occur to you that would not if you saw humanity another way. Clearly, the majority of several Muslim nations have considered it to be perfectly consistent to be Muslim and not necessarily part of a larger pan-Islamic national super-state, indicating that their vision of what it means to be human is something that transcends the particular identity category of “Muslim”.
Differing visions of humanity
So, let me conclude with this: what’s really at stake in examining Hizb Ut-Tahrir’s ideology is the question of how we understand tawhid or unity, that most fundamental of Islamic concepts: is tawhid only within the global Islamic community itself, or is it a human-spanning concept, and if so, in what way? Hizb ut-Tahrir opts for the latter, although doubtlessly they believe that eventually the global Islamic community shall be co-extensive with the human species (most likely through armed jihad emerging from the restored Caliphate). Everyday Muslims, however, seem to me more inclined to see the human species as simultaneously too broad and more fundamental than any one specific identity, including the Muslim one.
History can thank the influence of Sufi doctrines and not a little bit of secularization in this regard, but it is certainly a very different, and far less aggressive, conception of tawhid. Frankly, speaking as a Jew, whose history has been scarred by insufficient and inhumane tawhid; as a Baha’i, for whom tawhid is even more at the center of what it means to be religious, a journalist, and a human being; and most of all, as a human being, who, like all of us, longs for a real and deep reconciliation within our species, I’d take the “everyday” version of tawhid over Hizb ut-Tahrir’s any day. In the end, it is the truest, and it is right.
Bookmark and Share

One Comment »

  • http://www.gravatar.com/avatar/74a464eed7402c225666b76d50072449?s=45&d=http%3A%2F%2Fwww.gravatar.com%2Favatar%2Fad516503a11cd5ca435acc9bb6523536%3Fs%3D45&r=GDe Cordier says:
Christopher, I have read you 3-part reaction with great interest. Thanks for this.
Of course, the purpose of my initial piece and analysis was not so much to examine whether Hizb Ut-Tahrirs’ goals and concept is practically feasible, yet to argue that is reflects certain realities. I do that from a neutral position. From your side, don’t you mix up certain things with ideals coming from you own Baha’i-liberal background? That impression grew stronger from my side when you came at the point when you seem to promote the Baha’i concept of a Commonwealth as an alternative for Hizb Ut-Tahrir’s Islamic Khilafah State.
Personally, at first glance, I think that Hizb Ut-Tahrir’s premises (historical precedents, common modern-day predicament, large common potential) are more grounded in reality (be it idealised) than the Baha’i Commonwealth which seeks to “re-harmonize the spiritual and material qualities of humanity and thus further advance civilization in a dual sense”.
Now that we’re at it, I don’t think that the Khilafah concept shuns diversity (cf. the Dhimmi system). It is anti-nationalist, yes. The question remains whether this specific aspect is all that negative given nationalism’s record?
Also, in my view, you make the frequent mistake to idealise Sufism (as an antidote to ‘extremism’?). Even though Sufism is historically important, still relevant for folk practice of religion and generally enjoys more credit in international opinion as a ‘gentle’ and ‘humanist’ form of Islam (also partly though the association with religiopop like Rumi poetry and Qawali music), much of its traditionalist establishment is corrupt or closely associated with corrupt elites and regimes (and, as such, increasingly discredited), and its influence, closely interwoven as it is with ethno-traditional and localist identities, has been undermined by migration and urbanisation.
As for your question whether Muslim actually do want Khilafah, you might be interested in this (not surprisingly, Hizb quotes it often): World Public Opinions, ‘Muslim Public Opinion on US Policy, Attacks on Civilians and al Qaeda’, cit.
“Majorities in three countries also agreed with this objective themselves: Pakistan (74%), Morocco (71%), and Egypt (67%). Indonesia was the exception: only 49 percent agreed that Islamic countries should be united into a caliphate.”
(http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_rpt.pdf )
Of course, it’s from 2007 (it would be good to have an update), it does not mean that the respondents’ definition of the Caliphate is that of Hizb Ut-Tahrir (here its is mentioned as one of Al-Qaeda’s goals even though the latter has no monopoly on the concept, and Hizb Ut-Tahrir is not Al-Qaeda) and much depends also on the methodology of the survey. Yet it indicates that despite the presence of everyday local and national identifications and affiliations, the concept of the Caliphate is certainly not alien to substantive segments of the Ummah.
Also, do not under-estimate increasing (be it often ad hoc) transnational identification among Muslims thanks to increasing horizontal mobility and the global media.
“Would an Islamic super-state actually work?”
Will a European super-state actually work? Will Chavèz’s Bolivarian Alliance for the Americas work? :) Both are there and actually based as much on ideology, a common predicament, and a perception of the causes of this predicament.
In terms of the scope of the foreseen Islamic Khilafah State, there are little indicators in Hizb Ut-Tahrir’s literature that it is to be isolationist (i.e. that it does not wants to interact with the non-Islamic world) nor that it is out to wage an ‘Islamic reconquista’ in Cordoba, Sicily, Hungary and Wallachia to name a few.
“shall be co-extensive with the human species (most likely through armed jihad emerging from the restored Caliphate).”
Of course, no-one excludes double-speech. Yet in terms of interaction with other peoples (international relations), I don’t see an emphasis on armed conquest and subjugation in Hizb Ut-Tahrir’s concept, cit.
– “Due to the way Islam has been degraded by western governments and the media, it has had a negative impact on the perception by non Muslims and some Muslims. It would be absolutely vital that the state works towards refuting the arguments that are being hurled against Islam” (…)
– “The State would be independent from international organisations such as United Nation who from the very basis contradict the Islamic ideology. The sole ambition of this organisation is to propagate the capitalist ideology.” (…)
– “As Muslims we should be very vigilant of the erroneous beliefs of international law”. (…) “Furthermore, the Khilafah would need to ensure that they are progressing in the field of technology to build certain relations with places such as Japan.” (…)
– “Domestic natural resources such as oil, diamonds and gold are widely recognised as being great assets for Africa. The state would encourage Africa to manage their resources effectively and not sell them for insignificant costs to feed US interests. The same thing would be said for Latin America; it is rich in resources and agriculture but is in poverty due to it being bankrupt by capitalist nations.”
– “Building relations with neutral nations would smooth the progression of the state in terms of economy, technology and military power.”
http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/foreign-policy/7499-islam-and-international-relations (this is not Hizb’s offical site yet it is closely affiliated with the group)
I agree that nostalgia generally makes the past appear more rosy than it was, cf. the USSR nostalgia among parts of the Eurasian societies. Yet it does not makes them less legitimate since they often come form confrontation with dire, present-day realities.
Finally, I am surprised to see the way you use Tawhid, which you translate as ‘unity’ (among people?). Tawhid does literally mean ‘to unite’, yet it refers to the Oneness of God (единобожество), that is, monotheism, in the first place.
Demonstran membela visi lebih manusiawi Islam. Foto oleh Derek7272 pengguna Flickr (CC-penggunaan).
Editor's note: Hizb Ut-Tahrir visi pembentukan sebuah negara super-pan-Islam, tapi apakah itu bahkan bekerja?
Apakah bahkan apa yang umat Islam inginkan? neweurasia's Schwartz tidak berpikir begitu. Apa yang dipertaruhkan adalah dua pemahaman yang sangat berbeda persatuan dan kemanusiaan, salah satu orang setiap hari versus salah satu radikal - dan perbedaan itu adalah segalanya.
Dalam posting pertama saya, saya memeriksa logika dalam visi Hizb Ut-Tahrir dari kekhalifahan dipulihkan dan dalam kedua saya melakukan hal yang sama untuk pendekatan mereka untuk Modernitas. Untuk membungkus ini, aku sekarang beralih ke pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar: akan sebuah super-negara Islam benar-benar bekerja, dan ini sesuatu yang benar-benar ingin Muslim bahkan? Pertanyaan kedua adalah lebih penting dari dua, karena pada akhirnya itu benar-benar berhadapan dengan perbedaan pandangan tentang apa artinya menjadi manusia.
Apakah sebuah super-negara Islam benar-benar bekerja?
Jawaban jujur
​​atas pertanyaan ini adalah bahwa tidak ada yang benar-benar tahu. Namun, preseden sejarah sangat tidak meyakinkan, seperti yang kita telah melihat mayoritas negara super-perjuangan dan akhirnya gagal untuk menjadi koheren dan berkelanjutan. Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contoh paling jelas dari kegagalan; Kanada dan Belgia adalah contoh di mana perjuangan sedang berlangsung, dan dalam kondisi yang jauh lebih manusiawi dan liberal. Namun, dalam kasus terakhir, telah menyebabkan kondisi yang sangat aneh urusan, seolah-olah, krisis permanen. Perhatikan: keempat adalah contoh dari super-negara bagian, besar dan kecil, yang berusaha untuk mengelas zona bersama geografis dan bahasa jauh lebih kecil dibandingkan dengan kekhalifahan yang dibayangkan oleh Hizbut Tahrir Ut.
Arguably hanya super-negara yang telah berhasil sejauh ini Amerika Serikat, tidak ada bagian kecil karena fakta bahwa banyak negara penyusunnya adalah produk dari penjajahan dari inti asli dari negara-negara anggota. Tetapi bahkan kemudian Amerika Serikat mengalami perang sipil yang kuat, sebagai dua tradisi politik dan ekonomi yang sangat berbeda bersaing satu sama lain, dan sampai batas tertentu bahwa konflik masih terus dilancarkan, kecuali sekarang melalui wacana politik dan perpajakan dan kebijakan militer.
Kunci untuk kelayakan dari setiap negara-super pertanyaan berakhir: mengapa atau untuk apa tujuan dilakukannya pemerintahan yang ada? Apakah ada beberapa panggilan megah, misalnya, mendapatkan jumlah maksimum orang untuk tunduk kepada Hukum Allah, atau adalah tujuan yang lebih duniawi, misalnya, untuk mengerahkan dominasi atas masyarakat lain? Dan tidak hanya ini, tetapi apa tempat aspek yg terjadi setiap hari dari sebuah pemerintahan, misalnya, pengumpulan sampah atau mengelola kesehatan, di lingkup tujuan itu? Sejauh yang saya bisa mendengar, Hizb Ut-Tahrir tidak memiliki jawaban konsisten atau baik-pikir-out.
Saya harus mengakui bahwa dalam hal ini, aku sebenarnya agak simpatik. Sebagai anggota Iman Baha'i, itu sebuah artikel iman saya bahwa akan ada suatu hari dibentuk suatu super-negara di seluruh dunia - kami menyebutnya "Global Persemakmuran" - dan meskipun kerangka umum yang telah direncanakan untuk kita oleh pendiri agama kita, yaitu, bahwa Pemerintah Australia akan berusaha untuk kembali menyelaraskan kualitas spiritual dan material kemanusiaan dan dengan demikian peradaban maju lebih lanjut dalam arti ganda, bahwa keragaman tetap harus disimpan di dalam atau di samping ini persatuan baru, yang ada harus hanya menjadi distribusi kekayaan dan sumber daya, dan seterusnya, rincian telah diserahkan kepada Baha'i dan kelompok-kelompok yang berpikiran untuk mencari tahu.
Namun demikian, saya pikir ada perbedaan sikap penting antara Baha'i dan Hizb Ut-Tahrir, yaitu, bagaimana kita memahami apa artinya menjadi setia - yang kehalusan penting yang muncul pada awal sebagai titik pertama di titik pertama saya. Apakah kita benar-benar tahu apa yang Allah inginkan? Jika tidak, yaitu, jika kita berada di alam semesta yang tidak pasti, bagaimana mungkin kita masih bertindak, dan melakukannya dengan keyakinan dan energi? The Baha'i merespon dengan menanamkan keadaan pikiran percobaan sederhana: jawabannya akan terungkap dari waktu ke waktu, dan bahkan kemudian, kami mungkin tidak akan pernah sepenuhnya memahaminya. Hizb Ut-Tahrir, namun, tampaknya jauh lebih yakin bahwa entah bagaimana mereka lakukan memiliki jawaban dengan kepastian dan kejelasan. Saya pikir saya sudah cukup menunjukkan bahaya pendekatan mereka dalam posting saya sebelumnya, jadi mari kita pindah ke pertanyaan berikutnya.
Apakah Khilafah benar-benar apa yang umat Islam inginkan?
Saya mengakui bahwa gagasan keran kekhalifahan menjadi nostalgia yang sangat nyata bagi waktu ketika ada, pura-pura setidaknya, kesatuan dalam masyarakat Islam global, dan terlebih lagi, nostalgia yang tidak harus secara historis akurat atau semua yang realistis. Namun, satu langsung bertanya-tanya apakah mayoritas Muslim akan setuju dengan ide bahwa komunitas Islam global, pada dasarnya, sebuah demo, apalagi sebuah ethnos, yaitu, pemerintahan dan etnis sebuah.
Yang pasti, mereka tentu melihat diri mereka sebagai (biasanya) saudara dan saudari dalam persaudaraan rohani umum. Dalam pengalaman baik diri sendiri dan orang lain yang tak terhitung jumlahnya, baik Muslim dan non-Muslim, yang menghabiskan waktu mereka mencoba untuk mengakses, seolah-olah, jiwa Muslim, mayoritas umat Islam akan mengungkapkan berbagai tingkat ketidaknyamanan pada gagasan mengangkat persaudaraan mereka untuk sesuatu sebagai perusahaan dan tetap sebagai negara nasional pan-Islam super. Sebaliknya, mereka tampaknya lebih memilih identitas nasional dan politik sekarang, atau identitas etnis dan komunal sedikit. Apalagi jika (meskipun frustrasi) Maroko dan Turki upaya untuk bergabung dengan Uni Eropa dan berbagai revolusi yang telah mengguncang Timur Tengah dan Afrika Utara merupakan bukti apapun, mereka hanya seperti tertarik, jika tidak lebih dari itu, dalam berinteraksi dan mengintegrasikan dengan dunia non-Muslim lebih besar daripada hanya dengan satu sama lain.
Hizb Ut-Tahrir sendiri diam-diam mengakui bahwa hal ini terjadi. Jika mereka tidak akan membuat seperti usaha besar untuk mempropagandakan populasi Islam dalam upaya untuk mendapatkan komunitas Islam global untuk melihat sesuatu dengan cara mereka (mereka, tentu saja, lebih suka Dawa eufemisme). Apa yang saya bertanya-tanya tentang adalah apakah Hizb Ut-Tahrir sebenarnya misdiagnosing kondisi, yaitu, melihat itu sebagai masalah kesadaran. Dalam pandangan saya, sudut pandang Islam rank-and-file, jika saya dapat berbicara dalam hal seperti umum yang luas, sebenarnya mungkin memiliki kandungan sangat nyata dan berarti.
Berikut alasan saya: untuk memastikan, dorongan pertama untuk yang ingin jelas dan bahkan berinteraksi dengan mengintegrasikan ke dalam dunia non-Muslim adalah ekonomi. Namun, di bawah setiap strategi, ekonomi apalagi politik, ada metafisika, yaitu rasa apa artinya menjadi manusia, dan dengan itu, satu set pilihan: jika Anda melihat kemanusiaan satu cara, opsi tertentu terjadi kepada Anda bahwa tidak akan jika Anda melihat kemanusiaan dengan cara lain. Jelas, mayoritas beberapa negara Muslim menganggap untuk menjadi sempurna konsisten untuk menjadi Muslim dan belum tentu bagian dari pan-Islam negara yang lebih besar nasional super-, menunjukkan bahwa visi mereka tentang apa artinya menjadi manusia adalah sesuatu yang melampaui tertentu identitas kategori "Muslim".
Berbeda visi kemanusiaan
Jadi, izinkan saya menyimpulkan dengan ini: apa yang sebenarnya yang dipertaruhkan dalam memeriksa ideologi Hizb Ut-Tahrir adalah pertanyaan tentang bagaimana kita memahami tauhid atau kesatuan, yang paling mendasar dari konsep-konsep Islam: adalah tauhid hanya dalam komunitas Islam global itu sendiri, atau itu
manusia-mencakup konsep, dan jika demikian, dalam hal apa? Hizbut Tahrir opts untuk yang kedua, meskipun tidak diragukan lagi mereka percaya bahwa pada akhirnya masyarakat Islam global harus bersama-luas dengan spesies manusia (biasanya melalui jihad bersenjata muncul dari kekhalifahan dikembalikan). Setiap hari Muslim, bagaimanapun, tampaknya saya lebih cenderung melihat spesies manusia secara simultan terlalu luas dan lebih fundamental daripada identitas seseorang tertentu, termasuk Muslim satu.
Sejarah bisa berterima kasih pengaruh doktrin Sufi dan tidak sedikit sekularisasi dalam hal ini, namun jelas sangat berbeda, dan jauh kurang agresif, konsepsi tauhid. Terus terang, berbicara sebagai seorang Yahudi, yang sejarahnya telah terluka oleh mencukupi dan tidak manusiawi tauhid, sebagai Baha'i, untuk siapa tauhid bahkan lebih di pusat dari apa artinya menjadi agama, jurnalis, dan manusia, dan sebagian besar dari semua, sebagai manusia, yang, seperti kita semua, merindukan rekonsiliasi nyata dan jauh di dalam spesies kita, aku akan mengambil "sehari-hari" versi tawhid atas setiap hari Hizbut Tahrir. Pada akhirnya, itu adalah paling benar, dan hal itu adalah benar.
 
Satu Komentar »
• De Cordier mengatakan:
25 Maret 2011 jam 11:47
Christopher, saya telah membaca Anda 3-bagian reaksi dengan minat yang besar. Terima kasih untuk ini.
Tentu saja, tujuan dari bagian awal saya dan Analisis tidak begitu banyak untuk menguji apakah tujuan Hizb Ut-Tahrirs 'dan konsep praktis layak, namun untuk berpendapat bahwa adalah mencerminkan realitas tertentu. Saya melakukannya dari posisi netral. Dari sisi Anda, jangan Anda mencampur hal-hal tertentu dengan cita-cita yang datang dari latar belakang Anda sendiri Baha'i-liberal? Kesan itu semakin kuat dari sisi saya ketika Anda datang pada titik ketika Anda tampaknya untuk mempromosikan konsep Baha'i dari Persemakmuran sebagai alternatif bagi Hizb Ut-Tahrir Khilafah Islam Negeri.
Secara pribadi, pada pandangan pertama, saya berpikir bahwa tempat Hizb Ut-Tahrir (preseden sejarah, keadaan modern-hari biasa, potensi umum yang besar) lebih didasarkan pada realitas (baik itu ideal) dari Persemakmuran Baha'i yang bertujuan untuk "kembali menyelaraskan kualitas spiritual dan material kemanusiaan dan dengan demikian peradaban maju lebih lanjut dalam arti ganda ".
Sekarang kita berada di itu, saya tidak berpikir bahwa keragaman konsep Khilafah shuns (cf. sistem dhimmi).
Ini adalah anti-nasionalis, ya. Pertanyaannya tetap apakah ini aspek tertentu adalah mencatat semua bahwa nasionalisme yang diberikan negatif's?
Selain itu, dalam pandangan saya, Anda membuat kesalahan sering untuk mengagungkan tasawuf (sebagai penangkal 'ekstrimisme' untuk?). Meskipun tasawuf secara historis penting, masih relevan untuk praktek kaum agama dan umumnya lebih menikmati kredit opini internasional sebagai bentuk 'lembut' dan 'humanis' Islam (juga sebagian meskipun asosiasi dengan religiopop seperti puisi Rumi dan musik Qawali), banyak pendirian tradisionalis adalah korupsi atau terkait erat dengan para elit korup dan rezim (dan, dengan demikian, semakin mendiskreditkan), dan pengaruhnya, terjalin erat karena dengan identitas etno-tradisional dan localist, telah dirusak oleh migrasi dan urbanisasi.
Adapun pertanyaan anda apakah Muslim sebenarnya ingin Khilafah, Anda mungkin tertarik pada ini (tidak mengherankan, Hizbut tanda kutip itu sering): Dunia Opini Publik, 'Muslim Opini Publik di US Kebijakan, Serangan terhadap sipil dan al Qaeda', cit.
"Mayoritas di tiga negara juga sepakat dengan tujuan ini sendiri: Pakistan (74%), Maroko (71%), dan Mesir (67%). Indonesia adalah pengecualian: hanya 49 persen setuju bahwa negara-negara Islam harus disatukan dalam sebuah kekhalifahan ".
(Http://www.worldpublicopinion.org/pipa/pdf/apr07/START_Apr07_rpt.pdf)
Tentu saja, itu dari 2007 (itu akan baik untuk memiliki update), itu tidak berarti bahwa definisi responden kekhalifahan adalah bahwa dari Hizb Ut-Tahrir (di sini adalah seperti disebutkan sebagai salah satu tujuan Al-Qaeda meskipun yang terakhir tidak memiliki monopoli konsep, dan Hizb Ut-Tahrir tidak Al-Qaeda) dan masih banyak tergantung juga pada metodologi survei. Namun itu menunjukkan bahwa meskipun adanya identifikasi lokal dan nasional sehari-hari dan afiliasi, konsep Khilafah tentu tidak asing bagi segmen substantif umat.
Juga, jangan under-estimasi meningkat (baik itu sering iklan hoc) identifikasi transnasional antara berkat umat Islam untuk meningkatkan mobilitas horizontal dan media global.
"Apakah sebuah super-negara Islam benar-benar bekerja?"
Akankah super-negara Eropa benar-benar bekerja? Akan Chavez Bolivarian Aliansi untuk pekerjaan Amerika? :) Keduanya ada dan benar-benar berbasis banyak ideologi, suatu keadaan yang umum, dan persepsi penyebab kesulitan ini.
Dalam hal lingkup Khilafah Islam diramalkan Negara, ada indikator sedikit dalam literatur Hizb Ut-Tahrir yang itu harus menyendiri (yaitu yang tidak ingin berinteraksi dengan dunia non-Islam) atau bahwa itu adalah keluar untuk upah 'Reconquista Islam di Cordoba, Sisilia, Hungaria dan Wallachia untuk beberapa nama.
"Harus co-luas dengan spesies manusia (biasanya melalui jihad bersenjata muncul dari kekhalifahan dikembalikan)."
Tentu saja, tidak ada yang tidak termasuk double-speech. Namun dalam hal interaksi dengan orang lain (hubungan internasional), saya tidak melihat penekanan pada penaklukan bersenjata dan penaklukan dalam konsep Hizb Ut-Tahrir, cit.
- "Karena dengan cara Islam telah terdegradasi oleh pemerintah Barat dan media, telah berdampak negatif terhadap persepsi dengan non muslim dan beberapa Muslim. Ini akan benar-benar penting bahwa negara bekerja untuk membantah argumen yang sedang menantang Islam "(...)
- "Negara akan merdeka dari organisasi-organisasi internasional seperti United Nation yang dari dasar yang sangat bertentangan dengan ideologi Islam. Ambisi tunggal organisasi ini adalah untuk menyebarkan ideologi kapitalis ". (...)
- "Sebagai Muslim kita harus sangat waspada dari keyakinan yang keliru tentang hukum internasional". (...) "Selanjutnya, Khilafah akan perlu memastikan bahwa mereka maju di bidang teknologi untuk membangun hubungan tertentu dengan tempat-tempat seperti Jepang." (...)
- "Sumber daya alam dalam negeri seperti minyak, berlian dan emas secara luas diakui sebagai aset besar untuk Afrika. Negara akan mendorong Afrika untuk mengelola sumber daya mereka secara efektif dan tidak menjualnya untuk biaya tidak signifikan untuk pakan kepentingan AS. Hal yang sama akan kata untuk Amerika Latin, tetapi kaya akan sumber daya dan pertanian tetapi dalam kemiskinan karena itu menjadi bangkrut oleh negara-negara kapitalis ".
- "Membangun hubungan dengan negara-negara netral akan kelancaran perkembangan negara dalam segi ekonomi, teknologi dan kekuatan militer."
http://www.khilafah.com/index.php/the-khilafah/foreign-policy/7499-islam-and-international-relations (ini bukan situs resmi Hizbut's namun erat berafiliasi dengan kelompok)
Saya setuju nostalgia yang umumnya membuat masa lalu tampak lebih merah daripada itu, cf. USSR nostalgia di antara bagian dari masyarakat Eurasia. Namun itu tidak membuat mereka kurang sah karena mereka sering datang konfrontasi formulir dengan mengerikan, realitas saat ini.
Akhirnya, saya terkejut melihat cara Anda menggunakan Tauhid, yang Anda menerjemahkan sebagai 'kesatuan' (di antara orang?). Tauhid tidak harfiah berarti 'untuk bersatu', namun mengacu pada Keesaan Allah (единобожество), yaitu, tauhid, di tempat pertama.
Balas