Minggu, 03 April 2011

BANTAHAN FITNAH (AL AHBASY) DARI HIZBUT TAHRIR





________________________________________

Bantahan Terhadap Kitab
Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid
At-Tahririyyah
_______________________________________










Mohammad Ismail Yusanto
Jurubicara
Hizbut Tahrir Indonesia
Bantahan Terhadap Kitab
Al-Gharrah Al-Imaniyah Fi Mafasid At-Tahririyyah



m



Mukaddimah
Segala puji bagi Allah, yang telah berfirman:

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan me-neguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutu-kan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.s. an-Nur [24]: 55)

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah saw. yang bersabda:

«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Barangsiapa yang melepaskan tangan (di-rinya) dari ketaatan, maka (dia) akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya (dalam keadaan) jahiliyah.

Kami bersaksi, bahwa tidak ada ilâh yang berhak disembah kecuali Allah, yang berfirman:

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (Q.s. al-Qashash [28]: 5)

Dan kami bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya; yang bersabda:

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»

Ditengah-tengah kalian berlangsung masa kenabian sesuai dengan yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian (akan) berlangsung masa keKhilafahan yang bersandar kepada manhaj Nabi sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah pun mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu muncul masa para penguasa yang zhalim dan berlangsung sesuai dengan kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Setelah itu datang masa para penguasa diktator (yang bengis) dan berlangsung sesuai dengan kehendak Allah, lalu Allah pun mengangkatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Kemudian akan (muncul) masanya keKhilafahan (lagi) yang bersandar pada manhaj Nabi.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah, keluarga, sahabat dan siapa saja yang ber-wala’ kepada-Nya.
Allah telah mengutus Rasulullah Muhammad saw dengan membawa al-haq (kebenaran); Dia telah mengutus beliau dengan membawa Islam untuk membebaskan manusia dari kegelapan (kekufuran) menuju cahaya (Islam) dengan izin-Nya, serta memberikan petunjuk kepada mereka ke jalan yang lurus. Beliau telah mengajak manusia untuk beriman kepada Allah Swt. sehingga berimanlah siapa saja yang beriman, dan kafirlah siapa saja yang kafir. Selama mengemban misi tersebut, Rasulullah saw telah menghadapi penganiayaan yang sadis; onak dan duri diletakkan di jalan yang beliau lalui; berbagai najis dan kotoran dilemparkan kepada beliau pada saat beliau mengerjakan shalat; beliau juga telah diboikot di tengah-tengah lembah, dan kedua kaki beliau dibuat berlumuran darah ketika (keluar dari) Thaif. Sahabat beliau —semoga Allah meridhai mereka— disiksa, sehingga di antara mereka gugur sebagai syuhada’ dan mereka pun berhijrah sambil tetap bersabar dan terus bersabar. Mereka mengeluh kepada Rasulullah saw tentang apa yang menimpa mereka, tetapi beliau menjawab keluhan mereka:

«قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَـيُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَـيُجْعَلُ فِيهَا فَـيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَـيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَـيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ فَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَاللهِ لَيَتـِمَّنَّ هَذَا الأَمْرُ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُونَ»

Telah terjadi (penyiksaan) terhadap orang-orang sebelum kalian, (dimana) seorang laki-laki ditanam (setengah badan) di dalam tanah, lalu di atas kepalanya diletakkan gergaji dan (badannya) dipotong menjadi dua bagian (dari atas ke bawah), kemudian daging-dagingnya disisir dengan sisir besi (yang memisahkan dengan tulang-tulangnya); akan tetapi hal itu tidak menghalanginya menetapi agamanya. Demi Allah, pasti perkara (agama) ini akan sempurna hingga seorang pengendara (unta) akan berjalan dari Shan’a ke Hadramaut (dengan aman), sementara dia tidak merasa takut kecuali kepada Allah, dan serigala atas kambingnya, akan tetapi kalian semuanya adalah (orang) yang terburu-buru.

Orang-orang kafir Quraisy berusaha melawan dakwah tersebut dengan sekuat tenaga; dengan penyiksaan, meningkatkan penganiayaan dan pembunuhan, namun seluruh upaya mereka menuai kegagalan, hingga Rasul dan para sahabatnya tetap teguh berpegang pada kebenaran. Mereka tidak merasa takut terhadap cacian orang-orang yang mencaci, semata-mata karena Allah. Kaum kafir itu pun meningkatkan penyiksaannya dengan menambah berbagai sarana lain yang mereka anggap lebih ampuh dan membahayakan, yaitu (dengan) merancang kebohongan tentang Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka juga berusaha mengacaukan bacaan al-Qur’an Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga mereka tidak (bisa) mendengarkan al-Qur’an:


Dan orang-orang yang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan al-Quran ini dan buatlah hiruk pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka)’. (Q.s. Fushshilat [41]: 26)

Namun, strategi ini tidak berhasil mengobati luka hati kaum kafir yang memendam kesumat terhadap Islam, Rasul, dan para sahabat beliau. Maka, pada akhirnya mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw. Namun, hasilnya sangat tragis bagi mereka. Ketika mereka memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw, justru Allah mengizinkan Rasul-Nya untuk berhijrah, dan mendirikan negara di Madinah al-Munawwarah, yang nota bene merupakan kemuliaan bagi Islam dan kaum Muslim, dan kehinaan bagi kekufuran dan kaum kafir. Negara Islam, Khilafah berdasarkan Minhaj Nubuwwah ini kemudian berlanjut sepeninggal Rasulullah saw dengan kepemimpinan para Khulafâ’ ar-Râsyidîn, dan negara Khilafah ini kemudian berlanjut pada zaman ‘Umayyah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyyah hingga kaum kafir imperialis menjalankan kerja sama dengan antek-anteknya untuk menghancurkan (eksistensi) negara Khilafah di permulaan abad yang lalu.
Ketika Khilafah telah berdiri, kaum Muslim telah menjadi satu umat yang kuat, yang disegani oleh semua pihak. Kaum Muslim, ketika itu sangat tangguh karena keperkasaan Rabb mereka, dan sangat mulia karena menerapkan agama mereka. Jika mereka mengeluarkan satu kata, maka kata-kata itu pasti menggema di seluruh pelosok dunia; jika mereka melakukan aksi, maka aksi itu pasti akan menimbulkan rasa gentar di hati orang-orang kafir. Cukup dengan sekali jeritan, seorang Muslimah yang meminta tolong (dengan berseru): Wahai Mu’tashim, maka Khalifah pun segera mengerahkan pasukan yang dipimpinnya sendiri. Beliau menuntut balas untuk (menebus kehormatan) wanita itu dari pihak yang menzaliminya, dan beliau pun berhasil mengembalikan kemuliaan dan kehormatan wanita itu. Negeri Islam ketika itu dikelilingi dengan pagar kemenangan, sehingga orang-orang kafir tidak berani menerobosnya. Justru negara Khilafahlah yang telah membuka berbagai futuhât, dan menyebarluaskan kebajikan di seluruh penjuru dunia.
Ketika negara Khilafah telah dihancurkan, kaum Muslim tercerai-berai; negeri mereka tercabik-cabik menjadi kepingan yang berserakan, lalu kepingan itu dikuasai orang-orang kafir imperialis. Di sanalah, mereka kemudian mendirikan negara-negara dan negara-negara kecil yang hampir berjumlah 60 negara dengan sistem pemerintahan yang mencampakkan hukum yang diturunkan oleh Allah dan jihad di jalan Allah. Akibatnya, mereka ditimpa kehinaan. Negeri kaum Muslim telah berubah menjadi (tanah) jarahan setiap orang yang tamak; orang-orang Yahudi merampas tanah (tempat) Isra’ dan Mi’raj, kemudian seperti yang baru saja kita saksikan, Amerika merampas (bumi) Afghanistan dan Irak, dan tentara kaum kafir itu pun menyerbu tanah-tanah Islam. Harta-harta kaum Muslim dan kekayaan mereka dijarah, sehingga orang-orang kafir itu telah menikmati seluruh harta kaum Muslim. Ironisnya kaum Muslim sendiri menjadi miskin, padahal negeri-negeri kaum Muslim merupakan negara yang paling kaya di dunia dengan kekayaan alam melimpah ruah; baik di dalam perut bumi mau-pun di permukaannya. Mereka miskin, sementara hartanya melimpah, namun mereka dilarang memanfaatkannya. Pepatah mengatakan:

كَالْعِيْسِ بِالْبَيْدَاءِ يَقْتُلُهَا الظَّمَا وَالْمَاءُ فَوْقَ ظُهُوْرِهَا مَحْمُوْلُ

Bagaikan unta yang mati di tengah padang pasir oleh dahaga
sementara air dipanggul di atas punggungnya.

Kaum Muslim telah menderita berbagai krisis, goncangan dan kenistaan setelah negara Khilafah yang menyatukan kaum Muslim, yang telah menyatupadukan barisan mereka, dan bersama-sama mereka memerangi musuh-musuh mereka, serta mengibarkan bendera ‘uqâb, bendera Rasulullah saw, Lâ ilâha illa Allâh Muhammad Rasûlu-llâh itu dihancurkan.
Kaum kafir imperialis memang telah mengetahui penyebab kekuatan kaum Muslim. Mereka mengetahui, bahwa (eksistensi negara) Khilafah itulah yang akan mengangkat harkat kaum Muslim dengan menerapkan Islam, dan mengembannya ke seluruh penjuru dunia melalui dakwah dan jihad. Mereka juga mengetahui, bahwa negara Khalifah itulah yang akan memimpin umat menuju kemuliaan dan kemenangannya. Sabda Rasulullah saw:

«الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Seorang Imam (Khalifah) itu bagaikan perisai, dimana (kaum Muslim) berperang dan berlindung di belakang perisai tersebut.

Karena itu, setelah merampas negeri-negeri kaum Muslim, kaum kafir imperialis berusaha mengerahkan seluruh tenaganya agar kaum Muslim tidak bisa mengembalikan (lagi negara) Khilafah, agar mereka tetap bercerai-berai lagi lemah dan hina-dina.
Keadaan kaum Muslim tetap seperti itu, hingga Allah memuliakan salah seorang hamba-Nya, kemudian memberikan petunjuk dengan petunjuk Rasulullah saw, dan dia pun meneladani beliau dalam mengemban dakwah Islam, dan (dalam) membangun negara; membangkitkan umat dan memuliakan agamanya. Dia pun mengetahui, bahwa masalah vital umat Islam saat ini adalah menegakkan (kembali negara) Khilafah. Memang, pada dasarnya orang-orang itu adalah Muslim; mereka shalat, berpuasa, mengesakan Allah, beriman kepada kitab-Nya, rasul-Nya, hari kiamat, qadar yang baik dan buruknya semata-mata dari Allah. Hanya saja, mereka bercerai berai, tidak mempunyai negara yang menyatukan mereka berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, yang menerapkan apa yang diturunkan oleh Allah di tengah-tengah mereka, serta berjihad bersama-sama mereka di jalan Allah, sehingga mampu menjaga kemurnian Islam, tanah Islam dan menyebarkan kebajikan di seluruh penjuru dunia.
Seorang syaikh yang bertakwa (taqqy) dan bersih (naqy) telah mulai membentuk sebuah jamaah berasaskan Islam, yang menyeru kepada Islam dan berusaha memulai kembali kehidupan Islam di muka bumi dengan menegakkan (negara) Khilafah Râsyidah berdasarkan minhâj Nubuw-wah, sebagaimana Rasulullah saw telah mem-beritahukan kabar gembira akan kembalinya (negara) Khilafah tersebut dalam hadits shahih.
Kaum kafir dan antek-anteknya pun mulai menangkap dan menyiksa mereka, seringkali dengan siksaan yang berujung pada kematian. Di antara mereka ada sejumlah orang yang telah menjadi syahid di dalam penjara (penguasa) thagut.
Namun, jamaah yang beriman dan berjuang mengembalikan (negara) Khilafah ini terus berkembang, meskipun terus dibuntuti, dipenjara, disiksa dan mati syahid. Karenanya, kaum kafir imperialis memandang perlu untuk meningkatkan ragam penganiayaan itu dengan bentuk lain yang bisa memalingkan orang dari aktivitas untuk menegakkan (negara) Khilafah, serta menjauhkan mereka dari Khilafah, melalui berbagai macam kebohongan dan dusta yang mereka tiupkan di sekelilingnya.
Begitulah, mereka telah menempuh dua strategi secara bersamaan. Pertama, menyibukkan kaum Muslim dengan berbagai pembahasan yang akan memicu perselisihan dan fitnah di antara sesama mereka, agar perselisihan ter-sebut menjadi idealitas mereka, menggantikan kesepahaman di antara sesama mereka, juga menggantikan aktivitas untuk menegakkan negara Khilafah yang akan melindungi mereka. Kedua, menyebarluaskan berbagai kebohongan terhadap para pejuang yang berusaha menegakkan negara Khilafah, agar orang-orang menjauhkan diri dari mereka. Kaum kafir ingin memalingkan orang dari Khilafah, padahal negara Khilafah merupakan perkara vital (qadhiyah mashiriyah); serta memalingkan orang dari para pejuang yang berusaha menegakkan negara Khilafah.
Strategi pertama mereka tempuh dengan cara sebagai berikut:
1.   Mereka menciptakan orang-orang yang berasal dari antek-antek mereka yang membuat berbagai persoalan yang diperselisihkan di tengah kaum Muslim. Mereka menghembuskannya dan menyibukkan orang dengan urusan tersebut. Mereka memandang, bahwa harus dimulai dengan akidah itu sendiri, tetapi bagaimana harus memulainya? Mereka mengatakan harus dimulai dengan meluruskan akidah dahulu. Ini adalah ungkapan bagus, yang memukau kebanyakan kaum Muslim. Namun, alih-alih mereka membahas akidah sebagaimana yang dibawa oleh Rasul, justru malah memasukkan falsafah dan ilmu kalam. Mereka pun melakukan penakwilan, dan memutarbalikkan kenyataan. Mereka mulai mengkafirkan orang ini dan orang itu sampai pada taraf, menurut pengkafiran mereka, beberapa ulama' yang dicintai oleh umat dan mereka pun mencintai umat, dari orang-orang yang mengatakan kebenaran di hadapan kezhaliman dan tidak takut di jalan Allah terhadap celaan orang-orang yang mencela. Bersamaan dengan itu para antek-antek mereka mengkafirkannya. Mereka lupa atau pura-pura lupa dengan sabda Rasulullah saw:

«مَنْ كَفَّرَ مُسْلِماً فَقَدْ كَفَرَ»

Barangsiapa yang mengkafirkan seorang muslim, maka dia (telah) kafir.

«مَنْ قَالَ لأَخِيْهِ يَا كَافِرَ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمْ»

Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’, maka (pernyataannya itu) akan dikembalikan kepada salah seorang dari mereka.

Mereka, alih-alih meneladani Rasu-lullah, justru memalingkan kalimat dari tempatnya seraya melakukan penakwilan; mereka mengobral kata kafir, sampai-sampai pada diri mereka sikap mencap orang lain sebagai kafir menjadi sesuatu yang lebih mudah dari pada ucapan ‘Assalamu ‘alaikum’.
Pengkafiran (takfîr) adalah perkara yang sensitif dan membahayakan di dalam Islam. Sebab itu, orang-orang kafir melalui para antek mereka mewujudkan benturan dan pertentangan di antara kaum Muslim sehingga menyibukkan mereka satu sama lain.
2.   Menggiring (perselisihan kaum Muslim) yang menyangkut (arah) kiblat. Maka Anda menyaksikan sendiri, bahwa mereka merevisi kembali (arah) kiblat yang sudah diketahui di berbagai masjid kaum Muslim. Mereka merubahnya, menggantinya, seraya mengatakan bahwa mau tidak mau (arah) kiblat harus diubah, karena bumi itu rata (permukaannya) bukan bulat. Lalu masyarakat pun sibuk dengan kebodohannya dari waktu ke waktu.
3.   Kaum kafir dan para antek mereka memprovokasi kaum Muslim agar terjun ke dalam masalah-masalah khilafiyah (perselisihan) yang terjadi di antara para sahabat, terutama pada masa Imam Ali. Mereka telah menggiring peristiwa tersebut ke medan (perdebatan) yang baru yang bertentangan dengan metoda para salaf ash-shalih, dimana mereka tidak terjerumus di dalam perkara tersebut. Justru yang mereka (para salaf ash-salih) lakukan adalah mendoakan para sahabat kepada Allah dan memintakan ampun atas mereka serta menghapuskan keburukan-keburukan mereka seraya mengambil manfaat atas perbuatan-perbuatan baik mereka di akhirat. Terjun ke dalam masalah-masalah khilafiyah yang ada pada masa sahabat telah menyibukkan kaum Muslim, baik masalah seperti itu maupun yang lainnya.
4.   Setelah memprovokasi topik-topik khilafiyah di tengah-tengah kaum Muslim dan menyibukkan mereka dengannya, orang-orang kafir dan para agen mereka mulai melancarkan aktivitas memerangi Khilafah, dengan berbagai dalih dan penyesatan. Lebih dari itu, mereka menyimpangkan dalil-dalil tentang mengerjakan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mereka berani ber-muwalat dengan para penguasa yang tidak menjalankan hukum Allah, bahkan mereka memata-matai dan menunjukkan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan Khilafah agar ditahan.

Inilah strategi pertama mereka, yaitu menyibukkan kaum Muslim dalam perkara-perkara khilafiyah, dan menyibukkan kaum Muslim agar saling mengkafirkan, serta berdiam diri dari aktivitas untuk (mendirikan) Khilafah, seraya bersikap ridha bermuwalat dengan para penguasa zhalim yang menjalankan hukum-hukum yang dibuat oleh manusia.
Adapun strategi kedua adalah melontarkan kebohongan terhadap para aktivis yang berjuang menegakkan Khilafah, dengan menyebarkan kebohongan tentang para aktivis tersebut. Mereka yang melontarkan kebohongan itu, yakni para antek-antek orang kafir, adalah orang-orang yang berusaha menghalang-halangi dari jalan Allah. Mereka tidak ingin kaum Muslim berjuang untuk mengembalikan lagi negara Khilafah yang akan memuliakan kaum Muslim dan menghinakan orang-orang kafir.

Masalah Pertama: Qadha' dan Qadar
Penulis buku al-Gharrah al-Imaniyah, ketika membantah pandangan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I tentang qadha' dan qadar, ketika menyatakan:

(وهذه الأفعال ـ أي أفعال الإنسان ـ لا دخل لها بالقضاء ولادخل للقضاء بها، لأن الإنسان هو الذي قام بها بإرادته واختياره وعلى ذلك فإن الأفعال الإختيارية لاتدخل تحت القضاء)

[Perbuatan-perbuatan ini ---maksudnya perbuatan manusia--- tidak termasuk dalam kategori qadha', dan qadha' pun tidak mempunyai ruang di sana, karena manusialah yang melakukannya dengan kehendak dan pilihannya. Karena itu, perbuatan yang bisa dipilih tidak termasuk dalam wilayah qadha']

yang diikuti dengan kutipan berikutnya dari kitab Nidzam al-Islam, yang menyatakan:

(فتعليق المثوبة أو العقوبة بالهدي والضلال يدل على أن الهداية والضلال هما من فعل العبد وليسا من الله)

[Maka, dikaitkannya pahala dan dosa dengan petunjuk dan kesesatan, membuktikan bahwa petunjuk dan kesesatan tersebut merupakan buah dari perbuatan manusia, bukan dari Allah]

dengan menyatakan:

(الرد: هذا الكلام مخالف للقرآن والحديث وصريح العقل، إلخ)

[Sanggahan: Peryataan ini bertentangan dengan al-Qur'an, al-Hadits dan logika yang jelas, dan seterusnya][1]

Bantahan Masalah Pertama:
Pertama, dari aspek penukilan, sengaja atau tidak, penulis buku tersebut hanya mengutip sebagian dari penjelasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian langsung memvonis sesat dan seolah-olah beliau berpandangan seperti Mu'tazilah.[2] Padahal, konteks kalimat tersebut tidak dapat dipisahkan dari kalimat sebelum dan setelahnya, yang secara utuh justru memberikan pemahaman yang jernih dan cemerlang tentang qadha' dan qadar, demikian halnya dengan hidayah dan dhalalah.[3]
Kedua, dari aspek kesalahan penulis buku al-Gharrah dalam menjelaskan masalah qadha' dan qadar, yang justru mencampuradukkan dengan masalah qadar. Dia dan para pengikutnya tidak bisa membedakan antara qadar, yang berupa ilmu Allah yang bersifat azali dan bahwasanya segala sesuatu itu telah tertulis di Lauh al-Mahfuzh dan bahwa kewajiban seorang Muslim adalah mengimani qadar, baik buruknya dari Allah Swt. Mereka tidak membedakan lagi antara (qadar) ini dengan istilah qadha' dan qadar yang telah diterjemahkan dari filsafat Yunani; yang dalam istilah Yunani terkait dengan perbuatan dan karakteristik sesuatu (benda); yang tidak ada kaitannya dengan manusia, karena ia bersifat (jabran) memaksa. Karena itu, perbuatan yang bersifat paksaan dan karakteristik benda tersebut tidak ada hubungannya dengan manusia. Manusia juga tidak akan ditanya tentang perkara tersebut. Itu juga bukanlah topik yang menyangkut ganjaran (pahala) dan siksaan. Itu adalah fenomena yang ada pada wilayah qadha' dan qadar menurut terminologi istilah. Adapun ganjaran dan siksa yang menimpa manusia, itu karena perbuatan-perbuatannya yang dijalankan berdasarkan pilihannya. Jika manusia mendapatkan petunjuk untuk beriman, maka ia memperoleh keridhaan Allah dan mendapatkan pahala. Namun jika manusia itu tersesat dan memilih kekufuran, dia mendapatkan murka dan sanksi dari Allah. Perbuatan-perbuatan yang bersifat pilihan, maupun yang bersifat paksaan, serta sifat-sifat khas pada benda dan segala sesuatu, semuanya itu tidak keluar dari qadar Allah; sebab qadar itu adalah ilmu Allah dan (seluruhnya) tertulis di Lauh al-Mahfuzh yang mencakup segala sesuatu.
Ini jelas berbeda dengan istilah qadha' dan qadar yang diterjemahkan pada masa Abbasiyah dan yang terkait dengan perbuatan-perbuatan paksaan (af’âl jabariyah), juga dengan sifat-sifat khas pada benda.
Begitu pula mereka mencampuradukkan antara pelaksanaan perbuatan dengan penciptaannya. Sebagian mereka mengatakan bahwa siapa saja yang mengatakan seseorang yang menjalankan perbuatannya berdasarkan pilih-annya, berarti orang itu telah menciptakan perbuatannya sendiri. Padahal tidak ada seorang Muslim pun yang mengatakan, bahwa dia menciptakan sesuatu. Allah Swt-lah satu-satunya yang menciptakan sesuatu dan mewujudkannya dari (sebelumnya) tidak ada. Ini berbeda dengan orang yang menjalankan perbuatan apapun berdasarkan pilihannya, seperti memperoleh petunjuk atau kesesatan. Karena itu, mereka mencampuradukkan antara penciptaan perbuatan dengan pelaksanaan perbuatan, lalu masyarakat menyibukkan diri dengan perkara yang di masa Rasulullah saw sendiri tidak pernah bergolak, bahkan di masa sahabat sekalipun. Mereka mengacaukan benak banyak orang dan menyibukkan diri pada masalah yang sebenarnya telah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu.
Cukuplah kiranya seorang Muslim mengetahui dua perkara penting, yaitu: mengetahui bahwa qadar adalah ilmu Allah seraya beriman tentang baik dan buruknya, kemudian mengetahui bahwa perbuatan-perbuatan yang dalam lingkup pilihannya sendiri (af’âl ikhtiyariyah) itulah yang menjadi topik (diperolehnya) ganjaran pahala atau dosa; dan perbuatan-perbuatan yang tidak tercakup pada perbuatan pilihan (af’âl ikhtiyariyah) tidak akan dihisab oleh Allah. Sedangkan istilah qadha' dan qadar itu berkaitan dengan perbuatan yang tercakup dalam perbuatan yang dipaksa (af’al jabariyyah), serta menyangkut sifat-sifat khas pada benda yang tidak ada kaitannya dengan manusia, dan manusia tidak akan ditanya tentang perkara-perkara tersebut, bahkan tidak ada kaitannya dengan masalah ganjaran dan sanksi.

Masalah Kedua: 'Ishmah al-Anbiya' wa ar-Rusul
Dengan cara yang sama, penulis buku al-Gharrah juga menukil sebagian pendapat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, kemudian dia bantah, lalu bantahan tersebut dia carikan pembenaran dengan pandangan ulama':

(إلا أن هذه العصمة للأنبياء والرسل، وإنما تكون بعد أن يصبح نبيا أو رسولا بالوحي إليه، أما قبل النبوة والرسالة فإنه يجوز عليهم ما يجوز على سائر البشر، لأن العصمة هي للنبوة والرسالة

الرد: اتفق أهل الحق على أنه يجب للأنبياء الصدق والأمانة والفطانة فعلم من هذا أن الله تعالى لايختار لهذا المنصب إلا من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلادة، فمن كانت له سوابق من هذا القبيل لا يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد.

وتجب للأنبياء العصمة من الكفر والكبائر وصغائر الخسة والدناءة، وتجوز عليهم ما سوى ذلك من الصغائر التي ليس فيه خسة، وهذا قول أكثر العلماء كما نقله غير واحد، وعليه أبو الحسن الأشعري.

فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذالات تحصل من البشر)

[Hanya saja, kemaksuman ini berlaku untuk para Nabi dan Rasul setelah menjadi Nabi atau Rasul berdasarkan wahyu yang disampaikan kepadanya. Adapun sebelum menjadi Nabi dan Rasul, maka apa yang berlaku pada manusia yang lain, bisa saja berlaku bagi mereka. Karena kemaksuman tersebut berlaku karena kenabian dan kerasulan.

Sanggahan: Ahli Haq sepakat, bahwa para Nabi wajib mempunyai sifat jujur, amanah dan cerdas. Dari sini diketahui, bahwa Allah SWT. tidak memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari sifat hina, khianat, bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang mempunyai masa lalu seperti ini, tidak layak menyandang jabatan kenabian, meski setelah itu dia terbebas darinya.

Para Nabi wajib terbebas dari kekufuran, dosa besar dan kesalahan-kesalahan kecil yang hina dan murahan. Mereka boleh berbuat dosa-dosa kecil yang tidak mengandung kehinaan. Inilah pandangan kebanyakan ulama', sebagaimana yang dikatakan oleh lebih dari satu ulama'. Inilah pendapat Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari.

Dengan pandangannya ini, berarti menurut Hizb, kenabian itu juga boleh diberikan kepada orang yang sebelumnya menjadi pencuri, homoseks dan sejenis perbuatan tercela lainnya, yang bisa saja dialami oleh manusia] [4]

Bantahan Masalah Kedua:
Pertama, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, dari aspek kutipan; penulis buku al-Gharrah juga hanya mengutip sebagian, dan sebagiannya lagi merupakan kesimpulannya sendiri. Lebih parah lagi, karena kesimpulan itu ternyata kesimpulan hipotetik (an-natijah al-fardhiyyah), yang sebenarnya tidak ada, tetapi dinyatakan seolah-olah ada, kemudian dituduhkan seolah-olah Hizbut Tahrir berpandangan seperti itu. Padahal, itu merupakan kesimpulannya sendiri. Contohnya:

(فعلى قوله تصح النبوة لمن كان لصا سراقا نباشا للقبور ولوطيا إلى غير ذلك من الرذالات تحصل من البشر)

[Dengan pandangannya ini, berarti menurut Hizb, kenabian itu juga boleh diberikan kepada orang yang sebelumnya menjadi pencuri, homoseks dan sejenis perbuatan tercela lainnya, yang bisa saja dialami oleh manusia][5]

Dengan cara seperti ini, penulis buku al-Gharrah tersebut telah melakukan kebohogan ganda. Pertama, membuat kesimpulan yang fakta sebenarnya tidak ada. Kedua, membuat tuduhan pihak lain berkesimpulan seperti yang dia simpulkan, padahal pihak lain tidak pernah menyatakan kesimpulan seperti itu. As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sendiri menyatakan:

(أما عصمة النبي والرسول عن الأفعال المخالفة لأوامر الله ونواهيه فالدليل العقلي قائم على أنه معصوم عن الكبائر حتما، فلا يفعل كبيرة من الكبائر مطلقا لأن فعل الكبيرة يعني ارتكاب المعصية. والطاعة لاتتجزأ والمعصية لاتتجزأ. فإذا تطرقت المعصية إلى الفعل تطرقت إلى التبليغ، وهي تناقض الرسالة والنبوة. ولذلك كان الأنبياء والرسل معصومين عن الكبائر كما هم معصومون بالتبليغ عن الله. أما العصمة عن الصغائر فإنه قد اختلف العلماء فيها، فمنهم من قال إنهم غير معصومين عنها لأنها ليست معصية، ومنهم من قال إنهم معصومين عنها لأنها معصية. والحق أن كل ما كان طلب فعله أو تركه جازما ــ أي جميع الفروض والمحرمات ــ هم معصومون بالنسبة لها، معصومون عن ترك الواجبات، وعن فعل المحرمات، سواء أكانت كبائر أم صغائر، أي معصومون عن كل ما يسمى معصية، ويصدق عليه أنه معصية)

[Tentang kemaksuman Nabi dan Rasul dari perbuatan-perbuatan yang menyalahi perintah dan larangan Allah, sebenarnya dalil 'aqli telah menyatakan, bahwa Nabi dan Rasul itu pasti maksum dari dosa-dosa besar, sehingga secara mutlak tidak akan melakukan satu dosa besar pun, karena melakukan satu dosa besar sama dengan melakukan maksiat. Padahal, ketaatan tidak bisa dipilah, begitu juga kemaksiatan tidak bisa dipilah. Jika kemaksiatan itu mewarnai perbuatan, maka hal yang sama juga pasti mewarnai penyampaian (risalah), padahal itu jelas bertentangan dengan kerasulan dan kenabian itu sendiri. Karena itu, para Nabi dan Rasul harus maksum dari dosa besar. Sama halnya mereka juga harus maksum ketika menyampaikan (risalah) dari Allah. Adapun kemaksuman dari dosa-dosa kecil, para ulama' telah berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwa mereka tidak maksum dari dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu bukan maksiat. Sebaliknya, ada juga yang berpendapat, bahwa mereka harus maksum dari dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu adalah maksiat. Yang benar, bahwa apa saja yang dituntut untuk dikerjakan atau ditinggalkan dengan tegas ---yaitu semua bentuk kewajiban atau keharaman, maka terkait dengannya mereka jelas maksum; maksum dari meninggalkan kewajiban, dan maksum dari melakukan keharaman, baik yang masuk kategori dosa besar maupun kecil. Artinya, mereka semuanya maksum dari apa saja yang disebut maksiat, dan memang layak disebut maksiat][6]

Kedua, kebohongan penulis buku al-Gharrah dalam menukil pendapat ulama' untuk membenarkan pendapatnya. Pendapat penulis buku ini jelas menyatakan, bahwa:

(أن الله تعالى لايختار لهذا المنصب إلا من هو سالم من الرذالة والسفاهة والكذب والبلادة، فمن كانت له سوابق من هذا القبيل لا يصلح للنبوة ولو تخلى منها بعد)

[Allah SWT. tidak memilih jabatan ini kecuali orang yang selamat dari sifat hina, khianat, bodoh, dusta dan dungu. Maka, siapa saja yang mempunyai masa lalu seperti ini, tidak layak menyandang jabatan kenabian, meski setelah itu dia terbebas darinya][7]

yang coba dicarikan pembenaran dengan pendapat Ahl Haq, khususnya Abu al-Hasan al-Asy'ari, yang seolah-olah Abu al-Hasan al-Asy'ari berpendapat seperti itu. Padahal, yang berpendapat bahwa Nabi dan Rasul harus maksum sebelum menjadi Nabi dan Rasul adalah kalangan Muktazilah dan Syi'ah.[8] Ini dikuatkan dengan keterangan Abu Manshur al-Qahir al-Baghdahi (w. 429 H), dalam kitabnya, Kitab Ushul ad-Din, yang menyatakan:

(أجمع أصحابنا على وجوب كون الأنبياء معصومون بعد النبوة على الذنوب كلها. وأما السهو والخطأ فليسا من الذنوب فلذلك ساغا عليهم. وقد سهى نبينا e في صلوته حتى سلم على الركعتين نبى عليها وسجد سجدتي السهو. وأجازوا الذنوب قبل النبوة، وتأولوا على ذلك كل ما حكي في القرآن من ذنوبهم. وأجاز ابن كرام في كتابه الذنوب من الأنبياء من غير تفصيل منه. ولأصحابه اليوم في ذلك تفصيل ويقولون يجوز عليهم الذنوب ما لايوجب حدا تفسيقا. وفيهم من يجيز الخطأ في التبليغ...)

[Ashhabuna (para pengikut mazhab kami, yaitu Ahlussunnah) sepakat tentang keharusan para Nabi maksum dari segala dosa setelah kenabian. Soal lupa atau salah, keduanya bukanlah dosa, maka keduanya boleh bagi mereka. Nabi kita (Muhammad) saw. pernah lupa dalam shalatnya, hingga salam sementara beliau baru mengerjakan dua rakaat, kemudian beliau diingatkan, lalu melakukan sujud sahwi sebanyak dua kali. Mereka (ashhabuna) juga membolehkan terjadinya dosa-dosa tersebut sebelum kenabian. Mereka kemudian menakwilkan berbagai kasus dosa (yang pernah menimpa mereka) yang telah diceritakan dalam al-Qur'an. Ibn Karam, dalam kitabnya, juga membolehkan dosa-dosa tersebut menimpa para Nabi, tanpa penjelasan rinci. Sementara para pengikutnya membolehkannya dengan rincian. Mereka mengatakan, bahwa para Nabi itu boleh saja melakukan dosa-dosa tersebut selama tidak meniscayakan batas kefasikan. Di antara mereka ada juga yang membolehkan terjadinya kesalahan dalam menyampaikan (risalah)…][9]

Dengan demikian, jelas bahwa pandangan penulis al-Gharrah yang mengklaim dirinya Ahlussunnah nyata bukanlah pendapat Ahlussunnah, melainkan pendapat Muktazilah dan Syi'ah. Bahkan, dalam kitab al-Ibanah dan Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Mushallin[10] sendiri, yang merupakan dua karya outentik Abu al-Hasan al-Asy'ari (w. 324 H), beliau sama sekali tidak pernah menyatakan seperti yang dinyatakan oleh penulis al-Gharrah tersebut. Lalu dari mana dia menisbatkan pendapat tersebut kepada al-Asy'ari?

Masalah Ketiga: Hak Majlis Syura Memberhentikan Khalifah
Penulis al-Gharrah juga menyatakan pandangan yang dinisbatkan kepada Hizbut Tahrir, terkait denga hak majlis syura memberhentikan khalifah:

(إن مجلس الشورى له حق أن يعزل الخليفة بسبب أو بدون سبب... ويقولون في كتابهم المسمى "دستور حزب التحرير" في الأمور التي يتغير بها حال الخليفة فيخرج بها عن كونه خليفة، ويجب عندئذ عزله في الحال: " أو فسق فسقا ظاهرا". ويقول النبهاني في كتابه المسمى "نظام الإسلام" ما نصه: "وإن خالف الشرع أو عجز عن القيام بشؤون الدولة وجب عزله حالا"

الرد: هذا الكلام مخالف لأحاديث تؤكد أمر الخليفة... وهؤلاء التحريرية جعلوا الخليفة ملعبة كالكرة بين أيدي اللاعبين، فالخليفة لا يقلع بالمعصية لكن لايطاع فيها.. فالخليفة إن كان يأمر بالخير والشر مهما فسق لايرفع عليه سلاح لأن الفتنة التي تتسبب عن خلعه أعظم من معصيته.)

[Majlis syura berhak memberhentikan khalifah, dengan atau tanpa alasan.. Dalam kitabnya, yang diberi judul: Dustur Hizbut Tahrir, mereka mengatakan tentang beberapa perkara yang menyebabkan kondisi khalifah berubah, sehingga statusnya sebagai khalifah hilang. Ketika itu, dia wajib diberhentikan seketika, yaitu: "Ketika nyata-nyata melakukan kefasikan." Dalam kitabnya yang diberi judul: Nidzam al-Islam, an-Nabhani mengatakan, dengan redaksi, "Jika dia telah menyalahi hukum syara', atau tidak mampu melaksanakan urusan negara, maka dia wajib diberhentikan seketika."

Sanggahan: Pernyataan ini bertentangan dengan sejumlah hadits yang menegaskan perkara khalifah… Pengikut Tahrir itu telah menjadikan khalifah sebagai permainan, seperti bola di tangan para pemain. Padahal, khalifah tidak boleh diberhentikan karena maksiat, sebaliknya tetap wajib ditaati… Jika seorang khalifah memerintahkan kebaikan dan keburukan, betatapun fasiknya, dia tetap tidak boleh dilawan dengan angkat senjata, karena fitnah yang terjadi karena memberhentikannya jauh lebih besar, ketimbang kemaksiatannya.][11]

Bantahan Masalah Ketiga:
Pertama, tentang kitab Dustur Hizbut Tahrir, Hizbut Tahrir tidak pernah mengeluarkan buku dengan judul Dustur Hizbut Tahrir. Hizbut Tahrir hanya mengeluarkan buku Masyru' ad-Dustur (Draft UUD) atau Muqaddimah ad-Dustur aw al-Asbab al-Mujibah lahu (Pengantar UUD atau sejumlah alasan yang mengharuskannya), yang masing-masing diterbitkan tahun 1953 M dan 1382 H/1963 M.
Kedua, tentang wewenang majlis syura yang diberi hak untuk memberhentikan khalifah jelas keliru. Baik dalam buku Masyru' ad-Dustur maupun Muqaddimah ad-Dustur, pandangan seperti tidak pernah dinyatakan oleh Hizb. Justru sebaliknya, di dalam kedua buku tersebut dinyatakan:

(الأمة هي التي تنصب رئيس الدولة ولكنها لاتملك عزله متى تم انعقاد بيعته على الوجه الشرعي)

[Umatlah yang mengangkat kepala negara (khaifah), namun umat tidak mempunyai hak untuk memberhentikannya selama proses pembai'atannya telah berhasil dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum syara'][12]

Lebih jauh, di dalam buku Muqaddimah ad-Dustur diuraikan sejumlah dalil dan alasan yang melatarbelakangi lahirnya pandangan tersebut:

(فإن أدلته الحث على طاعة الخليفة، ولو ارتكب المنكر، ولو ظلم، مالم يكن كفرا بواحا. عن ابن عباس قال: قال رسول الله e: «من رأى من أميره شيئا يكرهه فليصبر فإنه من فارق الجماعة شبرا فمات ميتتة جاهلية». وكلمة «أميره» هنا عامة، ويدخل تحتها الخليفة، لأنه أمير المؤمنين... عن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أن أعرابيا بايع رسول الله e فأصابه وعك فقال: أقلني بيعتي فأبى، ثم جاء فقال: أقلني بيعتي فأبى، فخرج فقال رسول الله e: «المدينة كالكير تنفي خبثها وينصع طيبها» مما يدل على أن البيعة إذا حصلت لزمت المبايعين، وهذا معناه لاحق لهم أن يعزل الخليفة، إذ لاحق لهم بإقالة بيعتم له.. وعليه فلا يصح للمسلمين أن يرجعوا عن بيعتهم، فلا يملكون عزل الخليفة. إلا أن الشرع بين متى ينعزل الخليفة من غير حاجة لعزل، ومتى يستحق العزل، وهذا كذلك لايعنى أن عزله للأمة)

[Sesungguhnya, dalil-dalilnya adalah dalil yang mendorong untuk mentaati khalifah, sekalipun dia telah melakukan kemunkaran, dan berbuat zalim, selama tidak melakukan kekufuran yang nyata. Dari Ibn 'Abbas berkata: Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saja yang melihat kemunkaran pada amirnya, maka hendaknya bersabar. Sebab, siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah, sekalipun hanya sejengkal, kemudian dia mati, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah." Kata "amirihi" di sini bersifat umum, di dalamnya termasuk khalifah, karena dia merupakan amir al-mu'minin (pemimpin kaum Mukmin)... Dari Jabir bin 'Abdillah ra. Berkata, "Seorang Badui telah membai'at Rasulullah saw. kemudian terserang penyakit, dia lalu berkata (kepada Nabi), Lepaskanlah bai'atku, namun beliau mengabaikannya. Lalu dia datang lagi dan berkata, Lepaskanlah bai'atku, namun beliau tetap mengabaikannya. Maka, Rasulullah saw. pun keluar dan bersabda, "Madinah ini seperti tungku, yang bisa meniup kotoran-kotorannya, dan bisa memancarkan kebaikannya." Membuktikan, bahwa ketika bai'at itu telah terjadi, maka bai'at tersebut mengikat kedua belah pihak yang melakukan bai'at. Ini artinya, mereka tidak mempunyai hak untuk memberhetikan khalifah, karena mereka tidak mempunyai hak untuk melepaskan bai'at mereka kepada Nabi... Karena itu, kaum Muslim tidak boleh menarik bai'at mereka, dan karenanya mereka tidak berhak memberhentikan khalifah. Hanya saja, syara' telah menjelaskan kapan Khalifah dengan sendirinya berhenti, tanpa harus diberhentikan, dan kapan harus diberhentikan. Ini juga tidak berarti, bahwa hak untuk memberhentikannya ada di tangan umat.][13]

Jika umat yang menjadi sumber kekuasaan tidak diberi hak oleh syara' untuk memberhentikan khalifah, apatah lagi majlis syura, yang nota bene merupakan wakil dari mereka. Kalau demikian, benarkah khalifah tidak bisa diberhentikan? Tentu bisa, tetapi siapa yang diberi hak untuk memberhentikannya? Ternyata, hak itu diberikah oleh syara' kepada Mahkamah Madzalim. Ini telah dinyatakan dalam Muqadimmah ad-Dustur:

(لمحكمة المظالم حق عزل أي حاكم أو موظف في الدولة كما لها حق عزل رئيس الدولة (الخليفة)... وأما صلاحيتها في عزل الخليفة فإنه كذلك حكم بإزالة مظلمة، لأنه إذا حصلت للخليفة حالة من الحالات التي يعزل فيها، أو حالة من الحالات التي يجب عزله فيها، فإن بقاءه يكون مظلمة، ومحكمة المظالم هي التي تحكم بإزالة المظالم، وهي التي تحكم بعزله. ومن هنا كان حكم محكمة المظالم بعزل الخليفة إنما حكم بإزالة مظلمة)

[Mahkamah Madzalim mempunyai hak memberhentikan penguasa atau pegawai negara, siapapun dia, sebagaimana dia juga berhak memberhentikan kepala negara (khalifah)... Mengenai kewenangannya untuk memberhentikan khalifah, sebenarya itu merupakan keputusan untuk menghilangkan kezaliman. Karena ketika salah satu kondisi yang menyebabkan khalifah bisa dipecat atau bahkan wajib dipecat itu terjadi, maka keberadaan khalifah itu merupakan bentuk kezaliman, sementara Mahkamah Madzalimlah yang bertanggungjawab memutuskan untuk menghilangkan kezaliman, sekaligus keputusan memberhentikannya. Karena itulah, maka keputusan Mahkamah Madzalim untuk memberhentikan khalifah, sebenarnya merupakan keputusan untuk menghilangkan kezaliman.][14]

Dalil dan argumentasi dari kesimpulan tersebut kemudian dijelaskan lebih gamblang:

(دليلها أن الرسول e رأى أن تسعير الحاكم مظلمة، ورأى أن ترتيبات الدولة في أدوار الناس بالسقي من المياه العامة مظلمة، وهذا يدل على أن عمل الحكام إذا خالف الحق أو خالف أحكام الشرع مظلمة إذا كان متعلقا برئيس الدولة، لأن الرسول كان رئيس الدولة، وإذا كان متعلقا بأشخاص من جهاز الدولة كذلك كان مظلمة لأنه نواب عن رئيس الدولة فتكون كذلك متعلقة برئيس الدولة لأنها متعلقة بالعمل الذي أنابهم فيه لا بأشخاصهم، فيكون حديث التسعير دليلا على أن مخالفة رئيس الدولة مظلمة، ومحكمة المظالم هي صاحبة الصلاحية في النظر في المظالم)

[Dalilnya, Rasulullah saw. telah menyatakan bahwa penetapan harga oleh penguasa sebagai sumber kezaliman (madzlamah), dan menyatakan bahwa pengaturan negara terhadap masyarakat dengan jatah pengambilan air umum merupakan madzlamah. Ini menunjukkan bahwa aktivitas para penguasa, jika bertentangan dengan kebenaran, atau bertentangan dengan hukum-hukum syara' merupakan madzlamah, jika berkaitan dengan kepala negara. Karena Rasulullah adalah kepala negara. Jika berkaitan dengan individu aparatur negara juga dianggap sebagai madzlamah, karena dia merupakan wakil kepala negara, sehingga statusnya sama-sama berkaitan dengan kepala negara. Sebab, semuanya tadi berkaitan dengan aktivitas yang didelegasikan oleh kepala negara kepada mereka, bukan berkaitan dengan pribadi mereka. Jadi, hadits penetapan harga tersebut merupakan dalil yang menyatakan, bahwa penyimpangan kepala negara merupakan madzlamah, dan Mahkamah Madzalimlah yang memegang wewenang untuk memutuskan perkara madzlamah tersebut..][15]

Ketiga, mengenai pemberhentian khalifah, akibat kefasikan, pelanggaran terhadap syariat, atau karena ketidakmampuan khalifah untuk menjalankan urusan negara, maka penjelasannya sebagai berikut:

(ليس لرئيس الدولة مدة محدودة، فما دام رئيس الدولة محافظا على الشرع منفذا لأحكامه، قادرا على القيام بشؤون الدولة، يبقى رئيسا للدولة مالم تتغير حاله تغيرا يخرجه عن رئاسة الدولة. فإذا تغيرت حاله هذا التغير وجب عزله في الحال...

الأمور التي يتغير بها حال رئيس الدولة فيخرج بها عن رئاسة الدولة ثلاثة أمور هي: إذا اختل شرط من شروط انعقاد رئاسة الدولة، كأن ارتد، أو فسق فسقا ظاهرا، أو جن، أو ما شاكل ذلك. لأن هذه الشروط شروط انعقاد، وشروط استمرار...
الدليل عليها هو النصوص التي وردت في شروط الخليفة، فإن هذه النصوص تدل على أن هذه الشروط شروط استمرار وليست شروط تولية فحسب...

وعلى ذلك تكون أدلة شروط الخليفة أدلة كذلك لعزله، فإن وجودها شرط لإنعقاد الخلافة وشرط استمرارها فيمنع بقاء من ولي بحسبها في ولايته. إلا أنه ينبغي أن يلاحظ أن فقدان بعض هذه الشروط يخرجه عن الخلافة أي يفسخ عقدها في الحال، وفقدان بعضها لايخرجه عن الخلافة ولكنه يوجب عزله. فارتداده عن الإسلام، وجنونه جنونا مطبقا، ووقوعه أسيرا في يد كفار أسرا جسميا بأن يكون شخصه في يدهم وهو غير مأمول الفكاك فإنه في هذه الأحوال الثلاثة يخرج عن الخلافة، وينعزل في الحال ولولم يحكم بعزله، فلايجب طاعته، ولاتنفذ أوامره، فقد فسخ عقد الخلافة. وأما جرح عدالته بأن يصبح ظاهرا الفسق، أوتحوله إلى انثى أو خنثى مشكل، أوجنونه غير مطبق، أو عجزه عن الخلافة عجزا حقيقيا، أو حجره باستيلاء فرد من أفراد من حاشيته عليه واستمدادهم بتنفيذ الأمور، أو ووقوعه أسيرا جسميا مأمول الفكاك، أووقوعه تحت نفوذ كفار يسيرونه فإنه في هذه الأحوال السبعة يجب عزله عند حصول أي حالة منها، ولكنه لاينعزل إلا بحكم حاكم، وفي جميع الأحوال السبعة تجب طاعته، وتجب تنفيذ أوامره إلى أن يصدر حكم عزله. لأن كل واحدة من هذه الحالات لاينفسخ فيها عقد الخلافة من نفسه بل يحتاج إلى حكم حاكم.)

[Kepala negara tidak mempunyai masa jabatan tertentu. Selama kepala negara tersebut menjaga syariat Islam, melaksanakan hukum-hukumnya dan mampu menjalankan urusan negara, maka dia tetap menjadi kepala negara, selama kondisinya tidak berubah dengan perubahan yang membuatnya dibebas tugaskan dari jabatan kepala negara. Jika kondisinya telah mengalami perubahan, maka seketika itu juga wajib diberhentikan...
Adapun perkara yang menyebabkan kondisi kepala negara tersebut berubah, sehingga mengeluarkannya dari jabatan kepala negara itu ada tiga, yaitu ketika salah satu syarat pengangkatan kepala negara tersebut[16] hilang, misalnya murtad, nyata-nyata menjadi fasik, gila dan sebagainya. Karena syarat-syarat ini merupakan syarat pengangkatan, sekaligus syarat keberlangsungannya...
Dalilnya adalah sejumlah nas yang menyatakan syarat-syarat khalifah. Nas-nas tersebut menyatakan, bahwa syarat-syarat tersebut merupakan syarat bagi keberlangsungannya, bukan hanya syarat pengangkatannya saja…
Karena itu, dalil-dalil mengenai syarat-syarat khalifah juga merupakan dalil-dalil pemberhentiannya. Maka, adanya syarat-syarat tersebut merupakan syarat pengangkatan khalifah, dan syarat bagi keberlangsungannya, sehingga bisa menghalangi siapa saja yang menjalankan kekuasaannya. Hanya saja, harus diperhatikan bahwa hilangnya sebagian syarat-syarat ini memang bisa mengeluarkannya dari jabatan kekhilafahan, atau seketika merusak akadnya. Sementara hilangnya sebagian yang lain tidak mengeluarkannya dari jabatan kekhilafahan, tetapi tetap wajib diberhentikan. Murtad dari Islam, gila yang serius, jatuh sebagai tawanan kaum Kafir secara fisik, dimana dia mereka tawan, dan tidak ada harapan bebas, maka dalam ketiga kondsi tersebut dia akan kehilangan jabatan khilafah, dan seketika itu juga dinyatakan berhenti dengan sendirinya, sekalipun belum diputuskan berhenti; tidak wajib ditaati, perintah-perintahnya tidak boleh dilaksanakan, dan status akad kekhilafahannya pun batal. Mengenai faktor cacatnya keadilan, misalnya nyata-nyata menjadi fasik, atau berubah menjadi perempuan, waria, secara nyata tidak mampu mengemban tugas kekhilafahan, atau tersandera oleh salah seorang isterinya sementara mereka terus menjalakan urusannya, atau jatuh tertawan secara fisik, namun ada harapan bebas, atau jatuh dalam cengkraman kaum Kafir yang mengendalikannya, maka dalam ketujuh kondisi ni dia wajib diberhentikan, ketika salah satu dari ketujuh kondisi tersebut terjadi, namun dia tidak berhenti dengan sendirinya, kecuali melalui keputusan seorang hakim. Dalam ketujuh kondisi tersebut dia tetap wajib ditaati, dan perintahnya tetap wajib dilaksanakan hingga keluarnya keputusan ihwal pemberhentiannya. Sebab, akad kekhilafahan tersebut tidak dengan sendirinya batal ketika masing-masing kondisi tersebut ada, melainkan tetap membutuhkan keputusan seorang hakim][17]

Keempat, mengenai fitnah, harus ditegaskan, bahwa fitnah bukanlah 'illat syariat, dan tidak boleh dijadikan 'illat untuk menetapkan hukum (tasyri' al-hukm), apatah lagi untuk menggugurkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syara'. Disamping itu, persoalan fitnah mana yang lebih besar, apakah fitnah memberhentikan kepala negara, ataukah justru adanya kepala negara yang menjadi sumber fitnah itulah yang sesungguhnya merupakan pangkal fitnah (ra's al-fitan)?
Dengan demikian, jelas sekali kesalahan, ketidakcermatan dan bahkan kebohongan penulis buku al-Gharrah terhadap Hizbut Tahrir dan pendirinya, dengan menisbatkan kepadanya sesuatu yang sesungguhnya tidak ada.

Masalah Keempat: Pengangkatan Khalifah
Setelah mengutip sejumlah rujukan yang dinisbatkan kepada Hizbut Tahrir, penulis al-Gharrah menyatakan:

(هذه العبارات من جملة تحريفهم للكلم عن مواضعه فإن الحديث رواه مسلم عن ابن عمر بهذا اللفظ: «من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لاحجة له، ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية» فهم يذكرون منه للناس الجملة الأخيرة فيكررون «من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتتة جاهلية» مع إيهامهم أن ذلك لمن لم يتكلم معهم في أمر الخليفة كما هم يتكلمون بألسنتهم.

ومعنى الحديث ليس كما يزعمون إنما المعنى أن من تمرد على الخليفة واستمر على ذلك إلى الممات تكون ميتته ميتتة جاهلية، كما يدل على ذلك حديث مسلم عن ابن عباس عن النبي e: «من كره من أميره شيئا فليصبر فإنه ليس أحد من الناس خرج من السلطان شبرا فمات عليه إلا مات ميتتة جاهلية».

فقوله: «فمات عليه» صريح في أن الذي يموت ميتتة جاهلية هو الذي يأتيه الموت وهو متمرد على السلطان..

فتبين بطلان قولهم وتمويههم وغرضهم التشويش على المسلمين حتى يتبعوهم وبايعوا زعيمهم تقي الدين النبهاني الذي ادعى الخلافة وبايعه جماعته على ذلك. وقد قسم البلاد ـ على زعمه ـ بين أولاده الثلاثة، أحدهم سماه أمير العراق، والثاني أمير بلاد الشام، والأخير أمير مصر، وسمي زوجته أم المؤمنين ـ على زعمه)

[Kalimat ini merupakan bagian dari pemutarbalikan kata dari konteksnya, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn 'Umar dengan redaksi, "Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan, maka di Hari Kiamat kelak dia akan menghadap Allah tanpa mempunyai alasan. Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." Mereka menyampaikan hadits tersebut kepada masyarakat, dan mengulang-ulang bagian, Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai'at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah." dengan asumsi mereka, bahwa itu berlaku untuk siapa saja yang tidak membahas masalah khalifah dengan mereka, sebagaimana yang selalu diungkapkan oleh mulut mereka.
Padahal, makna hadits tersebut tidak seperti yang mereka asumsikan. Maknanya tak lain adalah siapa saja yang melawan khalifah, dan tetap seperti itu hingga mati, maka kematiannya adalah mati jahiliyah. Itu persis seperti yang ditunjukkan oleh hadits Muslim dari Ibn 'Abbas dari Nabi saw. yang menyatakan, "Siapa saja yang tidak menyukai sesuatu pada amirnya, hendaknya bersabar. Sebab, tak ada seorang pun yang melepaskan diri dari kekuasaan, meski hanya sejengkal, kecuali dia mati dalam keadaan mati jahiliyah."
Pernyataan Nabi, "Mati dalam keadaan mati jahiliyah." Menjelaskan, bahwa orang yang mati dalam keadaan jahiliyah adalah orang yang dijemput kematian, sementara dia tetap membangkang dari penguasa.
Maka, nyata kebatilan pandangan mereka, penyelewengan dan tujuan mereka untuk membingungkan kaum Muslim hingga mereka mengikutinya dan membai'at pemimpin mereka, Taqiyuddin an-Nabhani, yang telah mengklaim jabatan khilafah dan dibai'at oleh jamaahnya. Dia bahkan telah membagi negeri (kaum Muslim) –sebagaimana klaimnya— di antara ketiga anaknya. Satu di antara mereka, dia sebut sebagai amir Irak. Kedua sebagai amir negeri Syam, dan terakhir sebagai amir Mesir. Dan –sebagaimana klaimnya-- isterinya disebut dengan sebutan Ummul mukminin][18]

Bantahan Masalah Keempat:
Dengan menyandarkan pada hadits:

«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

Barangsiapa yang melepaskan (tangan) dirinya dari ketaatan, maka (dia) akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah. Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah.

Penulis al-Gharrah dan para pengikutnya mengatakan, bahwa (yang dimaksud dengan) mati jahiliyah itu hanya berlaku untuk orang yang melawan penguasa, jika dia dijemput oleh kematian, sementara dia tetap seperti itu. Mereka yang mengatakan itu lupa atau sengaja pura-pura lupa, bahwa lafadz yang berbentuk umum (shiyagh al-'umum) menunjukkan hukum yang bersifat umum. Pada bagian kedua hadits tersebut terdapat lafadz umum, yaitu: man yang menunjukkan lafadz umum, lalu kata bai’atun yang berbentuk nakirah munafiyah, juga termasuk lafadz umum. Jadi keumuman hadits tersebut adalah perkara yang sangat jelas.
Siapapun yang mengerti bahasa Arab dan istinbath akan mengetahui bahwa kalimat:

«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»

"Dan barangsiapa mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka matinya dalam keadaan jahiliyah."

adalah berbentuk umum, yang dalam keadaan adanya khalifah, seorang Muslim harus berbaiat, dan dalam keadaan tidak adanya Khalifah seorang Muslim harus mengerjakan aktivitas yang bisa mewujudkannya. Disamping itu, mafhum dari hadits tersebut juga menyatakan demikian, yakni nas tersebut menyatakan wajibnya membaiat Khalifah yang jika tidak dilakukan, maka dia akan mati dalam keadaan jahiliyah. Ini merupakan dalil (penunjukkan) yang jelas, bahwa jika tidak ada (Khalifah), maka wajib menjalankan aktivitas untuk mewujudkannya.
Karena itu, penyesatan terhadap makna hadits tersebut dimaksudkan untuk mengacaukan kaum Muslim agar kaum Muslim tidak beranjak menjalankan aktivitas untuk mewujudkan Khalifah dan membaiatnya supaya tidak mati dalam keadaan jahiliyah.
Lebih dari itu, mereka menyelewengkan dalil-dalil yang menyatakan kewajiban mengerjakan aktivitas untuk menegakkan Khilafah. Mereka berani bekerjasama dengan para penguasa yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah, bahkan memata-matai dan menunjukkan orang-orang yang berjuang untuk menegakkan Khilafah agar ditahan; seperti berita-berita tentang apa yang dilakukan oleh para antek dan kaki tangan mereka di Libanon, dan seperti yang dilakukan oleh orang yang ingin dipuji dan bersikap munafik terhadap para penguasa di sana, terutama di Suriah. Padahal mereka mengetahui, bahwa penguasa-penguasa tersebut tidak menjalankan hukum Islam.
Semuanya itu agar mereka dapat mengemas pemahaman agama mereka untuk kaum Muslim, serta menyambut para penguasa antek dan kaki tangan (kaum Kafir) yang menjalankan pemerintahan dengan undang-undang buatan manusia. Dengan begitu, selamanya mereka akan tetap berdiam diri dari aktivitas menegakkan Khilafah.
Mereka juga melontarkan kebohongan terhadap para aktivis yang berjuang untuk menegakkan Khilafah. Mereka menyebarkan kebohongan tentang para aktivis tersebut. Kaum kafir dan antek-anteknya memang sengaja membuat kisah-kisah idiot dan bodoh, dimana kebohongannya dengan mudah akan tersingkap di depan mata. Sebagian dari perkara-perkara yang kita dengar dan kita baca tersebut adalah:
1-   Mereka mengatakan, “Salah seorang aktivis yang berjuang menegakkan Khilafah itu pada saat datangnya shalat Maghrib akan tetapi dia tidak shalat. Ketika ditanyakan kepadanya mengapa tidak shalat, ia menjawab shalat tidak diwajibkan karena tidak ada Khalifah!”
2-   Mereka mengatakan, “Salah seorang aktivis yang berjuang menegakkan Khilafah itu ditanya, bahwa jamaahmu menyatakan sesungguhnya memandang wajah wanita dengan syahwat itu diharamkan, lalu mengapa dibolehkan menciumnya dengan syahwat. Ia menjawab, tidak masalah, ciumlah wanita itu sambil menutup mata!”.
3-   Mereka mengatakan, “Amir jamaah yang berjuang untuk menegakkan Khilafah mengangkat dirinya menjadi Khalifah dan mewajibkan jamaahnya membaiatnya sebagai Khalifah. Kemudian ia membagi negeri Muslim kepada anak-anaknya, ada yang menjadi gubernur di Syam, ada yang menjadi gubernur di Irak dan ada juga yang menjadi gubernur di Mesir.” Lalu mereka menambahkan bahwa amir jamaah itu menamai isterinya dengan ummul mukminin!

Terkadang mereka mengatakan perkataan yang bagi orang berakal tidak mungkin melontarkan kebohongan-kebohongan seperti itu, akan tetapi kami katakan kepada Anda, bahwa pernyataan-pernyataan seperti itu bersumber dari booklet sebagian para antek-antek kaum Kafir itu. Booklet itu diterjemahkan dan diperjualbelikan, dan para penulis booklet itu bukanlah orang yang jauh dari Anda.
Mereka yang melontarkan kebohongan itu, yakni para antek-antek orang Kafir, adalah orang-orang yang berusaha menghalang-halangi dari jalan Allah. Mereka tidak ingin kaum Muslim berjuang untuk mengembalikan lagi negara Khilafah yang akan memuliakan kaum Muslim dan menghinakan orang-orang kafir. Para pembohong itu menyangka, bahwa mereka sedang mengucapkan kata-kata di negeri yang menjadi pelindung, dan tak seorang pun yang akan bisa membongkar kebohongan mereka:

ö@è%] žcÎ) tûïÏ%©!$# šcrçŽtIøÿtƒ n?tã «!$# z>És3ø9$# Ÿw šcqßsÎ=øÿムÇÏÒÈ [

Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung. (Q.s. Yunus [10]: 69)

Masalah Kelima: Terbukanya Pintu Ijtihad
Dengan mengutip penjelasan dari buku yang dinisbatkan kepada Hizbut Tahrir:

(لأن الإنسان متى أصبح قادرا على الإستنباط فإنه يكون مجتهدا، ولذلك فإن الإستنباط أو الإجتهاد ممكن لجميع الناس، وميسر للجميع ولاسيما بعد أن أصبح بين أيدي الناس كتب في اللغة العربية والشرع الإسلامي)

[Karena ketika seseorang telah mampu melakukan penggalian hukum, maka dia menjadi mujtahid. Karena itu, penggalian hukum atau ijtihad itu mungkin bagi semua orang, dan sangat mudah bagi semuanya, terutama setelah buku-buku tentang bahasa Arab dan syariat Islam ada di tangan mereka.][19]

penulis al-Gharrah tersebut, sebagaimana yang dilakukan sebelumnya, dengan hanya mengutip sebagian, lalu melontarkan kebohongan yang dituduhkan kepada Hizb, seolah-olah Hizb berpendapat seperti yang dia tuduhkan. Dalam tuduhannya, dia mengatakan:

(في هذا الكلام فتح لباب الفتوى بغير علم، ألم يعلموا أن المجتهد هو من علم ما يتعلق بالأحكام من الكتاب والسنة، وعرف الخاص والعام والمطلق والمقيد والمجمل والمبين والناسخ والمنسوخ... ثم إن المجتهد يشهد له أهل العلم بذلك، ولم يشهد أحد من العلماء المعتبرين لتقي الدين النبهاني بذلك ولابأقل من ذلك مرتبة وأني يكون مثل هذا الرجل مجتهدا..)

[Pernyataan ini bisa membuka pintu fatwa tanpa disertai ilmu. Tidakkah mereka tahu, bahwa mujtahid adalah orang yang mengerti apa saja yang berkaitan dengan hukum-hukum yang bersumber dari Kitab dan Sunnah; mengerti Khash, 'Am, Muthlaq, Muqayyad, Mujmal, Mubayyan, Nasikh, Mansukh.... Mujtahid tersebut kemudian dibuktikan oleh Ahl Ilmu sebagai orang yang memang seperti itu, sementara tidak satu pun ulama' muktabar memberikan kesaksian sedemikian kepada Taqiyuddin an-Nabhani, bahkan untuk level yang lebih rendah dariya. Pantaskah orang seperti ini menjadi mujtahid...][20]

Bantahan Masalah Kelima:
Pertama, penulis buku al-Gharrah ini tetap mengulangi cara yang sama, yaitu mengutip sebagian kemudian menggunakan kutipan tersebut sebagai bukti untuk memvonis kesalahan, dan melontarkan tuduhan bohong terhadap pihak yang divonisnya. Padahal, penjelasan dalam kitab at-Tafkir tersebut tidaklah sama dengan kesimpulan penulis al-Gharrah. Secara lengkap, penjelasan dalam kitab at-Tafkir tersebut adalah:

(أما التفكير لاستنباط الحكم الشرعي فإنه لايكفي فيه مجرد القراءة حتى يستنبط، وإنما يحتاج إلى معرفة بالأمور الثلاثة، وهي الألفاظ والتراكيب، والأفكار الشرعية، والواقع للفكر أي للحكم، معرفة تمكنه من الإستنباط لامجرد معرفته. فلابد أن يكون عالما باللغة العربية من نحو وصرف وبلاغة إلخ، وأن يكون عالما بالتفسير والحديث وأصول الفقه، ولابد أن يكون عالما بالواقع الذي يريد استنباط الحكم له. وليس معنى كونه عالما أن يكون مجتهدا في هذه المواضيع، بل يكفي أن يكون ملما مجرد إلمام. فهو يستطيع أن يسأل عن معنى كلمة وأن يرجع إليها في القاموس، ويستطيع أن يسأل مجتهدا في النحو والصرف أو يرجع إلى كتاب في النحو والصرف ليعرف إعراب جملة أو تصريف كلمة، ويستطيع أن يرجع لعالم من علماء الحديث أو يرجع إلى كتاب من كتب الحديث ليعرف الحديث، ويستطيع أن يسأل عالما بالواقع الذي يريد فهمه ولو كان غير مسلم، أو يرجع إلى كتاب يبحث هذا الواقع. فلا يعني كونه عالما أن يكون مجتهدا أو مبتحرا، بل يكفي أن يكون ملما إلماما يمكنه من الإستنباط. وهذا معنى كونه أنه لابد أن تكون لديه معلومات معينة، أي معلومات كافية لتمكينه من الإستنباط. ولذلك فإن الإستنباط وإن كان يحتاج إلى معلومات أكثر من المعلومات اللازمة لمعرفة الحكم الشرعي، ولكنه لايعني أن يكون مجتهدا في كل واحد من الأمور الثلاثة اللازمة للإستنباط، بل أن يكون ملما بمعلومات كافية عن هذه الأمور الثلاثة تمكنه من الإستنباط، ومتى أصبح قادرا على الإستنباط فإنه يكون مجتهدا، ولذلك فإن الإستنباط أو الإجتهاد ممكن لجميع الناس، وميسر للجميع ولاسيما بعد أن أصبح بين أيدي الناس كتب في اللغة العربية والشرع الإسلامي...)

[Mengenai berfikir untuk menggali hukum syara', sebenarnya tidak cukup hanya dengan membaca kemudian bisa melakukan penggalian hukum. Tetapi, berfikir tersebut membutuhkan pengetahuan tentang tiga hal, yaitu lafadz (al-alfadz) dan susunan lafadz (at-tarakib), pemikiran syar'i dan fakta pemikiran atau hukum, dengan kadar pengetahuan yang memungkinkannya untuk melakukan penggalian hukum, bukan sekedar tahu. Karenanya, dia harus 'alim tentang bahasa Arab, seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah, dan sebagainya. Dia juga harus 'alim tentang tafsir, hadits dan ushul fikih. Dia juga harus 'alim tentang fakta yang hukumnya hendak digali. Konotasi dia harus 'alim tidak berarti dia harus sampai pada level mujtahid dalam topik-topik ini. Tetapi, cukuplah pada level menguasai dengan penguasaan yang sempurna. Karenanya, da bisa bertanya tentang makna kalimat dan bisa merujuknya ke kamus. Dia bisa bertanya kepada seorang mujtahid di bidang nahwu dan sharaf, atau merujuk kepada buku nahwu dan sharaf untuk mengetahui i'rab suatu kalimat, atau tashrif suatu kata. Dia juga bisa merujuk kepada salah seorang ulama' hadits atau merujuk kepada buku hadits untuk mengetahui hadits tertentu. Dia juga bisa bertanya kepada orang yang mengetahui fakta yang ingin dia pahami, sekalipun orang tersebut non-Muslim, atau merujuk kepada kitab yang membahas fakta tersebut. Jadi, konotasi dia harus 'alim tidak berarti dia harus sampai pada level mujtahid, atau orang yang mendalam sekali pengetahuannya, melainkan cukuplah pada level menguasai dengan penguasaan yang sempurna, yang memungkinkannya untuk melakukan penggalian hukum. Inilah pengertian harus mengusai pengetahuan tertentu, atau pengetahuan yang cukup supaya dia bisa melakukan penggalian hukum. Karena itu, sekalipun penggalian hukum tersebut membutuhkan pengetahuan yang lebih banyak dari sejumlah pengetahuan yang lazim untuk mengetahui hukum syara', tetapi tidak berarti dia harus sampai pada level mujtahid dalam setiap ketiga perkara yang lazim digunakan untuk menggali hukum. Tetapi, cukup pada level menguasai pengetahuan yang cukup tentang ketiga perkara yang memungkinkannya untuk melakukan penggalian hukum. Ketika dia telah mampu melakukan penggalian hukum, maka dia bisa menjadi mujtahid. Karena itu, penggalian hukum atau ijtihad itu mungkin bagi semua orang, dan sangat mudah bagi semuanya, terutama setelah buku-buku tentang bahasa Arab dan syariat Islam ada di tangan mereka.][21]

Dari kutipan di atas sebenarnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bermaksud menjelaskan bagaimana cara berfikir untuk menggali hukum syara' dan apa saja yang dibutuhkan oleh seorang Muslim ketika dia hendak menggali hukum, dan bagaimana caranya agar bisa menjadi mujtahid. Selain dalam buku at-Tafkir ini, penjelasan yang lebih detail tentang topik ini juga telah beliau tuangkan dalam buku-buku tsaqafah Hizb yang lain, seperti as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz I dan III.
Kedua, mengenai pengakuan atau syahadah yang diberikan oleh ulama' muktabar kepada beliau dan karyanya juga tidak bisa dijadikan sebagai ukuran. Karena bisa jadi, sosok Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, apa dan bagaimana pemikiran dan karyanya belum banyak dikenal luas oleh mereka. Namun, siapa saja yang meneliti karya-karyanya pasti akan mengakui kedalaman ilmu dan tsaqafah-nya. Kontribusi beliau yang brilian di bidang siyasah syar'iyyah dan iqtishadiyyah diakui sebagai yang pertama di bidangnya. Demikian juga rumusan beliau tentang Masyru' ad-Dustur (Draft UUD) jauh lebih maju ketimbang rumusan-rumusan pemikir setelahnya. Pada akhirnya, sejarahlah yang akan membuktikannya.

Masalah Keenam: Dar al-Islam dan Dar al-Kufr
Penulis buku al-Gharrah kemudian mengutip pandangan yang dinisbatkan kepada Hizb tentang Dar al-Islam dan Dar al-Kufr, yaitu:

(الدار التي نعيش فيها اليوم هي دار كفر لأنها تطبق أحكام الكفر، وهي تشبه مكة أيام بعثة الرسول... وبلاد المسلمين اليوم لايوجد فيها بلد ولا دولة تطبق الإسلام في الحكم وشؤون الحياة، لذلك فإنها كلها تعتبر دار كفر ولو كان أهلها مسلمين)

[Negeri yang kita diami saat ini adalah Dar Kufr, karena menerapkan hukum-hukum kufur. Ia menyerupai Makkah zaman diutusnya Rasul… Negeri kaum Muslim saat ini, tak satupun negeri maupun negara yang ada di sana, menerapkan Islam dalam pemerintahan dan ihwal kehidupan. Karenanya, semuanya bisa dianggap sebagai Dar Kufr, sekalipun penduduknya Muslim.][22]

Setelah itu, dia membuat bantahan dengan membenturkan pandangan tersebut dengan pendapat para fuqaha', dengan menyatakan:

(هذا الكلام منابذ لأقوال فقهاء الإسلام المذاهب الأربعة وغيرها من المذاهب التي انقرضت بانقراض أتباعها كمذهب سفيان الثوري، وابن جرير والأوزاعي. فعند جمهورة الفقهاء البلاد التي كان المسلمون مستولين عليها ثم تتغير الحال فاستولى عليها الكفار تبقى دار إسلام ويقول أبو حنيفة في البلاد التي كان المسلمون مستولين عليها ثم استولى عليها الكفار أنها تصير دار كفر بشروط ثلاثة قرروها)

[Pandagan ini bertentangan dengan pandangan fuqaha' Islam, yaitu mazhab empat dan mazhab-mazhab lain, yang telah pupus seiring dengan pupusnya para pengikut mereka, seperti mazhab Sufyan ats-Tsauri, Ibn Jarir dan al-Auza'i. Menurut jumhur fuqaha', negeri yang pernah dikuasai oleh kaum Muslim, kemudian setelah itu kondisinya berubah, dimana mereka dikuasai oleh kaum Kafir, maka negeri tersebut tetap menjadi Dar Islam. Abu Hanifah mengatakan, bahwa negeri yang pernah dikuasai oleh kaum Muslim, kemudian setelah itu dikuasai oleh kaum Kafir, maka negeri tersebut berubah menjadi Dar Kufr dengan tiga syarat yang telah mereka tetapkan.][23]

Bantahan Masalah Keenam:
Benarkah pandangan ini bertentangan dengan pandangan fuqaha' Islam, ataukah justru sebaliknya? Memang ada beberapa definisi tentang Dar al-Islam dan Dar al-Kufr. Dar al-Islam adalah istilah syara' yang menunjukkan fakta tertentu dari sebuah negeri, demikian halnya dengan istilah Dar al-Kufr, Dar as-Syirk, atau Dar al-Harb, yang juga menunjukkan fakta tertentu dari sebuah negeri, yang berbeda dengan istilah yang pertama. Meski ketiga istilah tersebut, Dar al-Kufr, Dar as-Syirk, atau Dar al-Harb itu maknanya sama.[24]
Mazhab Hanafi mendefinisikan Dar al-Islam dengan negeri yang menampakkan hukum-hukum Islam.[25] Mazhab Maliki mendefinisikannya dengan negeri yang simbol-simbol Islam atau dominasi simbol-simbol tersebut ditegakkan di dalamnya.[26] Mazhab Syafi'i mendefinisikannya dengan setiap tempat, yang penduduknya mampu mempertahankan diri dari serangan Musuh (Harbiyin).[27] Para fuqaha' mazhab Syafi'i juga menambahkan, bahwa syarat Dar al-Islam itu penduduknya tidak harus Muslim, tetapi dianggap cukup jika negeri tersebut berada dalam kekuasaan imam (khalifah), dan keislamannya.[28] Mazhab Hambali mendefinisikannya dengan negeri yang diduduki oleh kaum Muslim, dan hukum-hukum Islam diberlakukan di sana.[29]
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa justru jumhur fuqaha' menyatakan Dar al-Islam adalah negeri yang dipimpin oleh syariat Islam, dimana syariat tersebut ditegakkan di dalamnya. Dengan kata lain, alasan disebutnya sebuah negeri sebagai Dar al-Islam adalah adanya pemerintahan kaum Muslim yang menerapkan syariat Islam.
Sebaliknya, jika di sana ternyata syariat Islam tidak ditegakkan, dan tidak tampak, sementara yang ditegakkan dan tampak justru hukum-hukum Kufur, maka negeri tersebut disebut Dar al-Kufr. Inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha' mazhab Maliki, Syafi'i, Hanbali dan dua pengikut Hanafi, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf.[30]
Karena itu, pandangan yang dikemukakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa suatu negeri disebut Dar al-Islam jika memenuhi dua syarat, yaitu menerapkan Islam dan keamanannya berada di tangan (kekuasaan) kaum Muslim, dan sebaliknya disebut Dar al-Kufr jika tidak bisa memenuhi salah satu di antara keduanya tak lebih dari penegasan dari pandangan jumhur fuqaha' di atas. Ketika kedua kriteria yang diajukan oleh fuqaha' tersebut diimplementasikan terhadap kasus kekinian, untuk menghukumi status negeri kaum Muslim, maka lahirlah kesimpulan bahwa saat ini memang tidak ada satu pun negeri kaum Muslim yang layak disebut Dar al-Islam. Sebaliknya, bisa dikatakan bahwa semua negeri kaum Muslim saat ini adalah Dar al-Kufr.
Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa apa yang diklaim oleh penulis al-Gharrah sebagai pendapat jumhur fuqaha' ternyata bukan pendapat jumhur. Ini sekali lagi membuktikan kebohongan penulis buku tersebut. Dari sini kita tahu, bahwa tujuannya tak lain hanya untuk mencari pembenaran, agar negeri Muslim beserta para penguasanya yang nyata-nyata menerapkan hukum Kufur itu tetap aman. Meski untuk itu, berbagai kebohongan dan tuduhan palsu terus-menerus dilakukan.

Khatimah
Dari uraian tersebut nampak, bahwa apa yang ditulis dalam buku al-Gharrah tersebut sebenarnya penuh dengan kebohongan, baik terhadap pihak yang dituduh, yaitu Hizbut Tahrir, maupun terhadap para ulama' yang pandangannya digunakan untuk membenarkan pandangan-pandangan penulis buku tersebut. Bahkan, tidak jarang penulis buku tersebut melakukan kebohongan ganda, dengan menuduhkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dinyatakan oleh pihak yang dituduhnya. Pertanyaannya adalah, mengapa semuanya ini bisa dilakukan oleh orang yang berbaju ulama'? Tidakkah masih ada rasa takut di dalam hatinya kepada Allah, sebagaimana sifat para ulama'?
Terakhir, kami ingin menjelaskan, bahwa Khilafahlah yang akan merobohkan singgasana kaum kafir penjajah dan antek-antek mereka. Mereka mengetahui, bahwa kaum Muslim tidak akan bisa mendirikannya kecuali dengan mewujudkan satu negara yang menyatukan kaum Muslim berdasarkan Kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya, yaitu negara Khilafah yang bersandar pada metode kenabian (minhâj nubuwwah), yang akan memuliakan Islam dan para pemeluknya serta menghinakan kekufuran dan para penganutnya. Mereka benar-benar mengatahui hal ini. Karena itu, mereka membuat pagar penghalang sebisa mungkin, dengan merekayasa figur-figur tertentu yang berbaju Islam dan namanya juga Islam, tetapi memerangi Khilafah dan memerangi aktivitas untuk mendirikannya. Jika Anda berjumpa dengan mereka, maka berhati-hatilah! Ketahuilah, bahwa Allah akan menggagalkan tipu daya orang-orang kafir, antek-antek dan kroni mereka.

Wahai saudara-saudara
Segala puji bagi Allah atas nikmat Islam, dan yang telah menjadikan kita umat yang satu, Dia memerintahkan kita supaya bersaudara yang saling mencintai karena Allah. Kita dilarang bercerai berai, bahkan diperintahkan untuk saling mengeratkan tangan-tangan kita secara bersama-sama. Kita tidak boleh saling kafir mengkafirkan satu dengan yang lain, bahkan kita harus saling membantu untuk menetapi kebe-naran yang didatangkan melalui Rasulullah saw. Kita, wahai saudara, adalah bagian dari yang dijelaskan pada ayat:

]إِنَّمَا المُؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ[

Sesungguhnya orang-orang mukmin itu ber-saudara. (Q.s. al-Hujurat [49]: 10)

«وَالْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ»

Muslim itu saudara muslim yang lainnya, tidak boleh menzhalimi, tidak boleh menyerahkannya pada musuh, tidak boleh menghina dan merendahkan saudaranya.

Berdasarkan hal ini, kami mengajak dan menyeru Anda:
1.   Kita selalu terikat dengan Islam yang telah dibawa melalui Rasulullah saw, dimana kita berjalan dengan Islam dan berpegang teguh kepadanya sebagaimana yang dijalani dan dipegang teguh oleh para sahabat Rasulullah saw –yang semoga Allah meridhai mereka.
2.   Kita tahu, bahwa sahabat-sahabat Rasulullah adalah golongan terbaik umat Islam. Kita mencintai mereka dan mendoakan kepada Allah agar mereka memperoleh keridhaan. Kita tidak akan terjun dalam perkara-perkara khilafiyah yang terjadi di antara mereka. Malahan kita memohon kepada Allah agar mengampuni mereka, juga mengampuni kita, dan agar Allah mengumpulkan kita seluruhnya dengan para nabi, para shidiqin, para syuhada', para shalihin, dan merekalah teman-teman yang baik. Ingatlah, manusia itu akan dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.
3.   Tidak boleh saling mengkafirkan di antara kita selama kita beriman kepada akidah Islam sebagaimana yang dinyatakan di dalam Kitab Allah Swt dan hadits Rasulullah saw.
4.   Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melanjutkan kehidupan Islam di muka bumi ini dengan cara negara Khilafah ar-Rasyidah yang bersandar pada metode kenabian, yang dengan berdirinya Khilafah, maka Islam dan kaum Muslim akan mulia, dan kekufuran serta orang-orang kafir akan terhina.
5.   Tidak menjadikan para penguasa yang tidak menjalankan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah sebagai wali. Kita tidak akan memata-matai (aktivis Islam) untuk mereka, tidak akan menelantarkan para aktivis Islam dan tidak akan menyerahkan mereka kepada para thaghut yang zhalim.
6.   Kita sebagaimana yang diperintahkan Allah Swt dan Rasulullah saw adalah orang-orang yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berlaku lemah lembut di antara sesama kita. Janganlah bersikap sebaliknya, keras terhadap sesama muslim dan berlemah lembut dengan orang-orang kafir.
7.   Bertakwa kepada Allah (dalam hal ucapan dan perbuatan) terhadap sesama Muslim, dan janganlah kita melontarkan kebohongan terhadap sesama kita. Sebab, kebohongan itu adalah tindakan dosa besar di dalam Islam, dan ikatannya sangatlah rapuh, dan itu akan menghitamkankan wajah-wajah pelakunya di dunia dan akhirat.
8.   Kita harus saling berjanji untuk menjadi saudara di jalan Allah; tidak menjadikan orang-orang kafir itu wali, tidak menjadikan orang-orang zalim dan penguasa yang menjalankan hukum dengan undang-undang buatan manusia itu wali. Dan kita harus membuang orang-orang yang dengki terhadap Islam dari kita, yang menjadikan orang-orang zalim sebagai wali, yang memata-matai kaum Muslim.
9.   Kita harus saling berjanji untuk meninggikan panji Islam dan meninggikan kalimat al-haq bersama-sama, dan kita injak dengan telapak kaki kita pemikiran-pemikiran kufur dan akidahnya; dan kita kumandangkan kemuliaan Islam dan para pemeluknya, serta kehinaan kekufuran beserta para pengikutnya.




[1] 'Abdullah al-Harari, al-Gharrah al-Imaniyyah fi Mafasid at-Tahririyyah, ed. 'Abdul 'Aziz Masyhuri al-Indunisi, al-Idarah al-Markaziyyah li Rabithah al-Ma'ahid al-Islamiyyah Indonesia, 2001, hal. 7-17.
[2] Ibid, hal. 15.
[3] Bagi yang ingin menelitinya, silahkan merujuk kepada naskah aslinya, baik dalam bahasa Arab maupun Indonesia.
[4] Ibid, hal. 17-18.
[5] Ibid, hal. 17-18.
[6] As-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz' al-Awwal, Dar al-Ummah, Beirut, cetakan Muktamadah, 2003 M/1423 H, hal. 134-135.
[7] 'Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 17.
[8] Lihat, al-Imam al-Mulla 'Ali al-Qari al-Hanafi, Syarh Kitab al-Fiqh al-Akbar, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1995, hal. 104 yang menyatakan:

وفي شرح العقائد أن الأنبياء عليهم الصلاة والسلام معصومون عن الكذب خصوصًا فيما يتعلق بأمر الشرع وتبليغ الأحكام وإرشاد الأمة أما عمدًا فبالإجماع، وإما سهوًا فعند الأكثرين وفي عصمتهم عن سائر الذنوب تفصيل وهو أنهم معصومون عن الكفر قبل الوحي وبعده بالإجماع، وكذا عن تعمّد الكبائر عند الجمهور خلافًا للحشوية، وأما سهوًا فجوّزه الأكثرون، وأما الصغائر فتجوز عمدًا عند الجمهور خلافًا للجبائي وأتباعه، وتجوزسهوًا باتفاق إلا ما يدل على الخسّة كسرقة لقمة وتطفيف حبة، لكن المحقّقين اشترطوا أن ينبهوا عليه فينتهوا عنه هكذا كله بعد الوحي، وأما قبله فلا دليل على امتناع صدور الكبيرة خلافًا للمعتزلة ومنع الشيعة، صدور الصغيرة والكبيرة قبل الوحي وبعده.

[Dalam kitab Syarh al-'Aqa'id dinyatakan, bahwa para Nabi as. maksum dari perbuatan dusta, khususnya dalam kaitannya dengan urusan syariat, penyampaian hukum, dan bimbingan kepada umat. Mengenai maksum dari perkara tersebut yang dilakukan secara sengaja telah menjadi ijmak, adapun yang dilakukan karena lupa, menurut pendapat mayoritas tetap maksum. Soal kemaksuman mereka dari dosa-dosa yang lain dapat dirinci, bahwa menurut ijmak mereka maksum dari kekufuran, sebelum dan setelah turunnya wahyu, begitu juga ---menurut pendapat jumhur--- maksum dari dosa besar yang dilakukan secara sengaja. Berbeda dengan pengikut Hasyawi. Namun, maksum darinya karena lupa juga dibolehkan oleh kebanyakan ulama'. Soal dosa kecil, menurut jumhur boleh saja. Ini berbeda dengan al-Juba'i dan para pengikutnya (Muktazilah), dan telah menjadi ittifaq (kesepakatan), bahwa itu boleh juga dilakukan karena lupa, kecuali apa yang menunjukkan kehinaan, seperti mencuri sesuap makanan dan biji-bijian yang dijemur. Namun, pendapat para ahli yang paling benar mensyaratkan agar apa yang harus mereka (Nabi) perhatikan, sehingga bisa mereka tinggalkan semuanya berlaku setelah turunnya wahyu. Adapun sebelumnya, pada dasarnya tidak ada satu dalil pun yang melarang terjadinya dosa besar. Berbeda dengan Muktazilah, juga Syi'ah yang menolak (terjadinya dosa besar), juga dosa kecil dan besar, sebelum dan setelah turunnya wahyu]

[9] al-Imam Abu Manshur al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul ad-Din, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1981 M/1401 H, hal. 167-168. Lihat juga, 'Adhuddin al-Iji, al-Mawaqif fi 'Ilm al-Kalam, 'Alam al-Kutub, Beirut, t.t., hal. 358-359.
[10] al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Ibanah 'An Ushul ad-Diyanah, ed. 'Abdullah Mahmud Muhammad Syakir, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, Beirut, cetakan I, 1998 M/1418 H, hal. 5-92; al-Imam Abu al-Hasan al-Asy'ari, al-Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed. Muhammad Muhyiddin 'Abdul Hamid, al-Maktabah al-'Ashriyyah, Beirut, cetakan 1990 M/1911 H, juz I, hal. 345-350.
[11] 'Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 18-20.
[12] Muqaddimah ad-Dustur, t.p., 1382 H/1963 M, hal. 140.
[13] Ibid, hal. 141-142.
[14] Ibid, hal. 227-228.
[15] Ibid, hal. 227-228.
[16] Syarat-syarat pengangkatan (syuruth in'iqad) kepala negara adalah: (1) Laki-laki, (2) Muslim, (3) Berakal, (4) Baligh, (5) Adil, (6) Merdeka, (7) Mampu menjalankan tugas-tugas sebagai kepala negara. Adapun yang lain, seperti: keturunan Quraisy, pemberani dan mujtahid, misalnya, adalah syarat-syarat utama (syuruth afdhaliyyah), bukan syarat-syarat yang menyebabkan sah dan tidaknya pengangkatannya.
[17] Ibid, hal. 159-160, 161, 164-165.
[18] 'Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 21-23.
[19] Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 31-32.
[20] Ibid, hal. 32.
[21] Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, at-Tafkir, t.p., cetakan I, 1393 H/1973 M, hal. 148-149. Dalam kutipannya, al-Harari juga tidak amanah, dengan menambahkan kalimat: Li anna al-Insan (Karena manusia), sebelum kalimat: Wa mata ashbaha qadiran (Selama dia telah mampu). Lihat, al-Harari, Ibid, hal. 31-32.
[22] Abdullah al-Harari, Ibid, hal. 33.
[23] Ibid, hal. 33-34.
[24] As-Syafi'i, Kitab al-Umm, juz IV, hal. 270-271.
[25] 'Alauddin bin Mas'ud al-Kasani, Badai' as-Shana'i fi Tartib as-Syara'i, Dar al-Kitab al-'Arabi, Beirut, cet. II, 1982, juz VII, hal. 130.
[26] Syamsuddin Muhammad 'Arafah ad-Dasuqi, Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Syarh al-Kabir, Dar al-Fikr, Beirut, juz II, hal. 188.
[27] Syamsuddin Muhammad bin Abi al-'Abbas ar-Ramli, Nihayah al-Muhtaj 'ala Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, cet. terakhir, 1984, juz VIII, hal. 82. Syihabuddin bin Hajar al-Haitami, Tuhfat al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj, Dar al-Fikr, Beirut, juz IX, hal. 269.
[28] Ar-Rafi'i, Fath al-'Aziz, Syarh al-Wajiz, juz VIII, hal. 14.
[29] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, ed. Shubhi Shalih, Dar al-'Ilm li al-Malayin, Beirut, cet. I, 1983, juz I, hal. 366.
[30] Ibn 'Abidin, Hasyiyah Ibn 'Abidin, Dar al-Fikr, Beirut, cet. II, 1979, juz IV, hal. 175; Ibn Hazm, al-Muhalla, ed. Lajnah Ihya' at-Turats al-'Arabi, Dar al-Afaq al-Jadidah, Beirut, t.t., juz XI, hal. 200; Lihat juga, Tuhfat al-Muhtaj, juz IX, hal. 269; Nihayah al-Muhtaj, juz VIII, hal. 82; Ahkam Ahl ad-Dzimmah, juz I, hal. 366; Bada'i as-Shana'i, juz VII, hal. 130, Hasyiyah ad-Dasuqi, juz II, hal. 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar